Kerugian yang disebabkan pandemi Covid-19 merambah pada seluruh sektor ekonomi yang akan membutuhkan waktu cukup panjang untuk memulihkan kembali seperti semula. Pandemi juga menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. Berdasarkan data yang dikeluarkannya, ILO memperkirakan 6,7% atau setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu terkena dampak akibat pandemi secara global pada kuartal II. Pada awal tahun 2020, sebelum merebaknya wabah COVID-19, tingkat pengangguran global mencapai 190 juta. Kini, diperkirakan sekitar 81% dari 3,3 miliar pekerja global terkena dampak penuh atau sebagian. Namun, sektor yang mengalami kerugian terbesar adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara lain yang ikut terdampak wabah tersebut.
Industri UMKM adalah yang sektor yang paling terpuruk akibat perlambatan ekonomi yang disebabkan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa kota di Indonesia. Banyak dari mereka yang tetap berjuang untuk bertahan agar tetap beroperasi sama seperti negara Singapura yang notabene kegiatan ekonomi nya berfokus pada sumber pengelolaan perdagangan jasa maupun industri manufaktur, apabila terjadi hambatan pada sektor tersebut maka yang akan terjadi dapat menimbulkan resesi atau krisis finansial suatu negara.
Bahkan, banyak industri UMKM yang terpaksa merumahkan karyawan mereka atau memaksa mereka untuk cuti tanpa gaji. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian Ketenagakerjaan, total pekerja yang telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan mencapai tiga juta pekerja lebih per tanggal 8 Mei 2020.
Untuk menstimulus keadaan perekonomian ditengah pendemi ini khususnya sektor UMKM, pemerintah melalui OJK telah menerbitkan POJK No 11/POJK.03/2020 untuk memberikan relaksasi terhadap nasabah perbankan, termasuk perbankan syariah di dalamnya, yaitu memberikan kemudahan proses restructuring dan rescheduling untuk nasabah yang terdampak penyebaran virus Covid-19 khususnya nasabah sektor UMKM atau non-UMKM yang memiliki pembiayaan di bawah Rp 10 miliar, berlaku satu tahun ke depan bergantung pada kebijakan masing-masing bank syariah.
Di antara peran yang bisa diambil bank syariah sebagai bentuk kepedulian atau solusi terhadap ekonomi dan keuangan sosial Islam kepada nasabah pada masa pandemi, antara lain:
Pertama, memberikan penundaan pembayaran angsuran murabahah ataupun sewa di akad ijarah dan musyarakah mutanaqishah (antara 6-9 bulan) bagi nasabah yang terdampak pandemi, baik dampak secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan untuk pembiayaan yang menggunakan akad mudharabah, musyarakah, dan wakalah, pembayaran bagi hasil dapat ditunda atau ditiadakan.
Kedua, memberikan kelonggaran fasilitas restrukturisasi atau panjadwalan ulang kepada nasabah yang terdampak khususnya pada akad ijarah dan musharakah mutanaqishah sehingga biaya sewa yang dibebankan kepada nasabah bisa lebih kecil daripada biasanya. Hal ini dengan catatan untuk pembiayaan dengan akad murabahah, harga tidak boleh diubah dari kesepakatan awal. Artinya, keuntungan bank akan tetap. Namun, untuk akad ijarah dan sejenisnya dan akad musharakah mutanaqisah, biaya sewa bisa disesuaikan dengan keadaan dan kesepakatan bersama antara bank syariah dan nasabah dengan catatan keduanya saling menerima.
Ketiga, zakat perusahaan, karyawan dan pemegang saham. Sesuai dengan anjuran Islam, porsi zakat yang wajib dikeluarkan setiap bulannya kepada setiap individu harus segera dialokasikan kepada yang mustahik. Sebaiknya bank syariah dan pemegang saham mengeluarkan zakat perusahaannya (zakat maal) sebesar 2,5 persen untuk membantu masyarakat ekonomi lemah dan disalurkan ke lembaga zakat negara maupun swasta profesional. Hal ini dilakukan sebagai wujud ketaatan suatu bank kepada prinsip syariah.
Keempat, dana akun kebajikan. Mendistribusikan seluruh dana pada charity account (akun kebajikan) yang mana dana tersebut berasal dari denda telat bayar para nasabah ataupun perjanjian yang tidak sesuai syariah untuk dialokasikan ke pos penanganan Covid-19 dan tidak dimasukkan ke dalam akun pendapatan operasional.
Kelima, dana CSR. Bank syariah juga harus mempertimbangkan untuk mendistribusikan dan mengalokasikan tahunan seluruh dana CSR mereka untuk penanganan pandemi, pembagian sembako, dan alat kesehatan untuk masyarakat yang membutuhkan. keuntungan bank bank syariah juga harus didistribusikan beberapa persen dari keuntungan mereka pada 2019 untuk penanganan penyebaran Covid-19.
Keenam, pemberdayaan sekaligus penguatan sektor filantropi Islam lainnya yang dapat membantu penyaluran bantuan langsung tunai yang berasal dari zakat, infak dan sedekah, baik yang berasal dari unit-unit pengumpul zakat maupun dari masyarakat. Khusus untuk zakat yang bersifat tunai, penyalurannya dapat difokuskan kepada orang yang berhak menerima yang terdampak COVID-19 secara langsung, sebagai salah satu yang berhak menerimanya (mustahik) baik bantuan sembako maupun bantuan yang bersifat produktif untuk dapat bertahan pada kondisi saat ini. Poin ini adalah salah satu skema filantropi Ekonomi Islam yang memiliki dampak sekaligus potensi yang  besar bagi perekonomian masyarakat. Namun kenyataannya, realisasi zakat yang masuk ke Baznas masih jauh dari harapan. Untuk itu, penguatan kampanye dana zakat, infak, dan sedekah dapat terus digiatkan agar masyarakat dapat menilai bahwa peranan bank syariah terhadap aspek sosial dan kemanusiaan itu tetap sesuai dengan yang diajarkan oleh Alquran dan sunnah.