Resume Film Cut Nyak Dien (1988)
Tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada kerajaan Aceh. Perang yang berkecamuk terus-menerus selama puluhan tahun adalah perang terlama dan terpanjang dalam sejarah kolonial Belanda.
Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang bermula dari pembakaran Masjid Agung Aceh. Teuku Ibrahim (suami Cut Nyak Dien) dan beberapa pengikutnya mati syahid. Penyebab dari peristiwa itu adalah persenjataan Belanda yang lebih unggul, dan juga karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang Habib Abdurrahman.
Karena kematian sang suami yang semuanya berawal dari kerakusan dan kekejaman colonial Belanda. Cut Nyak Dien telah berjanji untuk melawan Belanda sendiri setelah suaminya  Teuku Ibrahim tewas saat perang melawan Belanda. Tak lama Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dengan syarat memperbolehkan Cut Nyak Dien ikut bertempur di medan perang.
Teuku Umar beserta pasukannya memiliki rencana dengan melakukan pendekatan terhadap Belanda. Meskipun Teuku Umar dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan semua pasukan dan membawa perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Teuku Umar kembali berbalik memerangi Belanda. Rencananya menyerang Belanda di Meulaboh diketahui oleh pihak musuh. Teuku Umar gugur saat menyerang Belanda di Meulaboh. Inilah kemurkaan terbesar kedua Cut Nyak Dien. Begitu menyakitkan perasaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda.
Dengan kesungguhan, semangat, dan tekad yang besar, Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda menggantikan Teuku Umar di daerah Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien menjadi pemimpin dan dikelilingi oleh orang-orang tangguh yang sangat setia terhadapnya. Salah satu orang yang paling dipercaya Cut Nyak Dien adalah Pang La’ot. Pang La’ot senantiasa mendampingi Cut Nyak Dien dalam perjuangan yang disebutnya perang sabil itu.
Cut Nyak Dien berusaha keras untuk menghindarkan diri dari setiap usaha tentara Belanda untuk menangkapnya dengan cara berpındah-pindah dan satu tempat ke tempat yang lainnya. Meskipun semangat Cut Nyak Dien tidak akan pernah padam. Akan tetapi pendukungnya semakın melemah kekuatannya baik secara fisik maupun mental terlihat dengan situasi yang serba kekurangan bahan makanan dan obat-obatan.
Banyak rakyat yang gugur sehingga jumlah pasukannya semakin berkurang. Kesehatan Cut Nyak Dien pun memburuk, kondisinya semakin melemah, bahkan penglihatannya mulai rabun dan seringkali penyakit encoknya kambuh. Tidak banyak yang bisa dilakukan di pedalaman hutan Aceh untuk membantu Cut Nyak Dien. Pang La’ot merasa iba dan tidak tega melihat Cut Nyak Dien semakin menderita karena sakit.
Akhirnya, dengan berat hati, Pang La’ot secara diam-diam menemui komandan Belanda. Ia bersedia memberitahu di mana letak persembunyian pasukan Aceh yang tersisa. Namun, Pang La’ot meminta syarat agar Cut Nyak Dien diperlakukan dengan hormat dan mendapatkan perawatan yang baik dan perundingan lainnya, serta pihak Belanda harus menyetujuinya.
Pada tahun 1905, markas Cut Nyak Dien diserang. Korban pun berjatuhan dalam pertempuran yang tak seimbang itu. Kondisi tubuh Cut Nyak Dien yang sangat lemah tidak memungkinkan untuk pergi apalagi melawan. Cut Nyak Dien hanya duduk dalam diam berdzikir ketika komandan Belanda datang kepadanya. Komandan Belanda meminta Cut Nyak Dien menyerahkan diri secara baik-baik, namun ia diam mengabaikannya.
Melihat itu, Pang La’ot mendekat kepada Cut Nyak Dien. Cut Nyak Dien yang sangat marah sampai membentak Pang La’ot yang dianggap seorang pengkhianat.
Cut Nyak Dien terpaksa menyerah walaupun ia sangat tidak rela. Lalu Cut Nyak Diendibawa ke Banda Aceh. Belanda pun memenuhi kesepakatan yang diberikan dengan Pang La’ot. Cut Nyak Dien dirawat dengan baik hingga kondisinya mulai pulih. Namun, Belanda masih merasa khawatir apabila Cut Nyak Dien kembali melawan, apalagi di berbagai tempat di pedalaman masih ada orang-orang lokal yang siap mengobarkan peperangan lagi. Dan itu bisa saja terjadi jika Cut Nyak Dien memberikan perintah. Akhirnya, Belanda berkhianat dan mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang.
Semasa pengasingan, Cut Nyak Dien diperlakukan baik oleh orang-orang Sumedang. Ia sangat dihormati dan sering mengajarkan ilmu terutama mengaji Al-Qur’an. Cut Nyak Dien wafat pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H