Mohon tunggu...
Muhammad F. Hafiz
Muhammad F. Hafiz Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menulis sebagai profesi dan amal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Setapak Menuju Bulan

14 April 2024   07:31 Diperbarui: 14 April 2024   07:32 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dheeennggg....!!

Nyaring bunyi ramp door yang bertumbuk dengan besi dinding buritan kapal. Membuyarkan lamunan Kartini. Dia harus bergegas menuju geladak yang dicapai lewat tangga tegak setelah melintasi palka di lambung kapal yang penuh kendaraan. Tak sadar tangan Kartini menutup hidung dan mulut bayinya, sewaktu lewat di ruangan besar yang pengap itu. Sama seperti ketika mengalunkan nina bobo di ruang tunggu petang tadi.

Menjelang malam, air laut yang datar memantulkan bayangan lurus mengarah ke bulan. Sebuah bidang mangata, yaitu seberkas bayangan semburat jingga purnama di permukaan air yang membentuk lajur seperti jalan setapak. Cahaya putih berpendaran dipadu super pink moon di sepanjang mangata, menggugah ilusi meniti jalan menuju bulan.

Super pink moon adalah penamaan untuk menyebut fenomena super moon yang terjadi pada bulan April.

"Mak, aku kedinginan di sini. Aku mau di dalam, adek juga pasti dingin...," kata Minar menunjuk kabin penumpang.

Sebelumnya seorang penumpang juga menegur Kartini agar tak berada di geladak dengan bayi dalam gendongannya. Bukan tanpa alasan Kar tak mau masuk ke aula penumpang, orang-orang yang berada di dekatnya pasti akan mengobrol dan bertanya perihal bayi yang digendong. Siapa yang tahan tak berbincang dalam perjalanan 6 jam.

Sejak di ruang tunggu pelabuhan, Kartini tak mengerti apakah dirinya dalam keadaan sadar membisikkan nina bobo untuk bayinya. Ataukah sekadar ingin terlihat wajar agar tak terpergok menggendong jenazah. Pada akhirnya dia terus saja memperlakukan bayinya seakan-akan tak terjadi apa-apa.

Apalagi dia membawa pula perlengkapan bayi yang dibeli Supar jauh sebelum bayi mereka lahir. Pada Minar dia meminta mencarikan topi rajutan benang wol di tas untuk dikenakan di kepala bayinya. Untung saja Kar tak keterusan membalur perut bayinya dengan minyak telon.

"Mak aku mau di dalam," pinta Minar lagi.

Kartini menuruti Minar. Nanti juga bisa berpindah-pindah tempat di dalam kabin, begitu pikirnya. Mereka bisa pula lesehan di lantai kabin tanpa perlu berebut kursi. Orang-orang beradu cepat mendapat kursi, tapi selalu saja ada orang lain berbuat curang dengan berselonjor di kursi yang merebut hak orang lain.

Benar saja, seorang perempuan bertubuh gemuk menumpangkan sebelah kaki di kursi. Memijat-mijat ibu jari kakinya dengan wajah meringis. Membuat segan orang lain meminta kursi yang diduduki sebelah kaki wanita itu. Meskipun ada juga penumpang yang berbisik-bisik ingin protes, lainnya memaklumi. Asam urat memang tak kenal kompromi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun