Di tengah gemuruh pikiran Sandra dengan asumsi-asumsi yang menggenangi otaknya, sekonyong-konyong Banu muncul. Merangkulnya dari arah belakang. Sandra gugup karena kali ini dia tiba-tiba tak ingin membalas kemesraan itu.
"Aku serius Mas. Apa yang akan kau katakan pada Mbak Wid..."
Sandra melonggarkan kedua tangan Banu yang menempel di pinggangnya. Tatapan mata keduanya menancap cakrawala yang merona di atas ufuk laut Kuta. Semburat yang kali ini berwarna lebih merah dari jingga.
"Oh hooo... nggak perlu sengit Dra. Sekarang aku dan kamu bisa bareng kapan saja, berdua berlama-lama. Bahkan selama-lamanya," Â kata Banu dengan wajah lebih serius daripada Sandra.
"Aku tak mau kau menceraikan Mbak Widia," balas Sandra.
"Aku tak melakukan itu. Aku cuma mau bilang selama-lama yang kita mau. Tak perlu lagi bikin jadwal tiga hari, empat hari. Lamaaaaaaaa.... kalau mau."
Widia diam. Dia tak tahu arah pembicaraan Banu.
"Begini Dra. Kau siap mendengar ini? Kalau siap, aku teruskan," ucap Banu lagi.
"Ini dimulai ketika aku meeting rencana project di New York. Sudah lama sekali, akhir tahun 90-an. Tahun 98, aku tak lupa. Aku juga mengajak Widia karena aku punya urusan lain selain rencana project itu. Tentu pada orang kantor aku punya alasan menambah waktu tinggal karena mengajak Widia," kata Banu yang disimak penuh hasrat oleh Sandra.
"Ini akan terdengar aneh Dra, tapi ini nyata. Kau tak akan menyangka mesin modern dan dunia digital yang kita kira kita sudah tahu semua perkembangannya ini, sesungguhnya sangat jauh melampaui apa yang kita semua ketahui. Jauh Dra, jauh sekali."
Sandra mengerut kening. Namun tetap antusias menyimak meski semakin tak tahu arah pembicaraan Banu.