Mohon tunggu...
MohdHafiy Nawwaf
MohdHafiy Nawwaf Mohon Tunggu... Konsultan - Research Assitant

Mohd Hafiy Nawwaf adalah mahasiswa Magister Hukum Ekonomi di Universitas Indonesia dengan latar belakang akademik yang kuat di bidang hukum, ekonomi, teknologi, dan kelautan. Sebagai seorang peneliti sekaligus asisten riset, Hafiy aktif mengkaji berbagai isu hukum yang berkaitan dengan investasi, layanan keuangan, perdagangan internasional, dan transaksi lintas negara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Joint Development di Laut China Selatan, Tantangan atau Bumerang bagi Indonesia

17 November 2024   11:49 Diperbarui: 17 November 2024   11:58 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerja sama yang disepakati dalam Joint Statement harus menjaga prinsip-prinsip UNCLOS yang mengutamakan kedaulatan negara atas wilayah maritim mereka. Setiap langkah diplomatik Indonesia dengan China harus memastikan bahwa tidak ada pengabaian terhadap hak-hak maritim Indonesia, khususnya terkait dengan klaim sepihak yang tidak sah atas ZEE dan Landas Kontinen Indonesia.

Dalam konteks kebijakan yang tercermin dalam Joint Statement antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping, terdapat potensi keuntungan dan risiko yang harus diperhitungkan secara hati-hati oleh Indonesia. Sementara kerja sama yang disebutkan dalam pernyataan tersebut mungkin membawa keuntungan dalam bentuk hubungan diplomatik yang lebih erat dan peluang ekonomi, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mempengaruhi posisi Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah maritimnya, khususnya di Laut Natuna Utara.

Dari sisi positif, kerja sama dengan China dapat memperkuat hubungan kedua negara dalam bidang perdagangan, investasi, dan eksplorasi sumber daya alam. Di tengah ketegangan global dan dinamika geopolitik di Asia, memperkuat kemitraan dengan China mungkin memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam hal pengembangan ekonomi dan stabilitas regional. Selain itu, pengelolaan bersama sumber daya alam di kawasan yang berbatasan langsung dengan China bisa membuka peluang baru dalam bidang energi dan kelautan.

Namun, dari sisi negatif, pernyataan tentang "kerja sama di wilayah dengan klaim tumpang tindih" berpotensi memberikan legitimasi terhadap klaim Nine Dash Line yang diajukan oleh China, yang tidak diakui oleh komunitas internasional, termasuk Indonesia. Pengakuan atau kerja sama semacam itu bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap UNCLOS dan hak-hak maritim Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen di sekitar Natuna. Jika klaim China terus diperkuat, Indonesia bisa terjebak dalam posisi yang lemah dalam memperjuangkan kedaulatannya, baik di forum internasional maupun dalam dialog bilateral dengan negara-negara terkait.

Kebijakan ini berisiko menjadi pedang bermata dua. Jika tidak dikelola dengan hati-hati dan dalam kerangka hukum internasional yang tegas, Indonesia dapat merugikan dirinya sendiri dengan memberi kesan bahwa klaim China atas wilayah Laut China Selatan, termasuk Natuna Utara, mendapatkan pengakuan atau penguatan lebih lanjut. Hal ini bisa menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan maritim Indonesia, yang selama ini konsisten mendasarkan klaimnya pada ketentuan UNCLOS. Oleh karena itu, Indonesia perlu memastikan bahwa kerja sama tersebut tidak mengorbankan prinsip-prinsip hukum internasional dan kedaulatan nasional.

Kerja sama yang disepakati dapat mempererat hubungan diplomatik dan membuka peluang ekonomi, seperti dalam perdagangan, investasi, dan eksplorasi sumber daya alam. Di tengah dinamika geopolitik global, kemitraan dengan China juga dapat memperkuat posisi Indonesia dalam stabilitas regional dan pengembangan ekonomi, terutama di bidang energi dan kelautan.

Namun, risiko utama muncul terkait dengan pernyataan tentang "kerja sama di wilayah dengan klaim tumpang tindih." Hal ini berpotensi memberikan legitimasi terhadap klaim Nine Dash Line yang diajukan oleh China, yang tidak diakui oleh komunitas internasional, termasuk Indonesia. Jika Indonesia terjebak dalam kerja sama yang mengabaikan hak maritim negara berdasarkan UNCLOS, terutama terkait ZEE dan Landas Kontinen di sekitar Natuna, maka klaim China bisa semakin diperkuat. 

Hal Ini berisiko melemahkan posisi Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya, baik di forum internasional maupun dalam perundingan bilateral. Kebijakan ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati dan sesuai prinsip hukum internasional, berpotensi menjadi bumerang bagi Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa setiap kesepakatan yang diambil tidak mengorbankan kedaulatan nasional dan hak maritim Indonesia. Kompromi yang merugikan kedaulatan harus dihindari, dan kerja sama harus dilakukan dalam kerangka hukum internasional yang jelas dan tegas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun