Mohon tunggu...
MohdHafiy Nawwaf
MohdHafiy Nawwaf Mohon Tunggu... Konsultan - Research Assitant

Mohd Hafiy Nawwaf adalah mahasiswa Magister Hukum Ekonomi di Universitas Indonesia dengan latar belakang akademik yang kuat di bidang hukum, ekonomi, teknologi, dan kelautan. Sebagai seorang peneliti sekaligus asisten riset, Hafiy aktif mengkaji berbagai isu hukum yang berkaitan dengan investasi, layanan keuangan, perdagangan internasional, dan transaksi lintas negara.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Joint Development di Laut China Selatan, Tantangan atau Bumerang bagi Indonesia

17 November 2024   11:49 Diperbarui: 17 November 2024   11:58 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pernyataan bersama antara Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada 9 November 2024 memunculkan keprihatinan, terutama terkait poin ke-9 yang mengatur pengembangan bersama di wilayah dengan klaim tumpang tindih. Langkah ini berpotensi berdampak pada kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara, mengingat klaim Nine-Dash Line yang diajukan Tiongkok tidak diakui dalam hukum laut internasional, khususnya United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) yang menjadi landasan penentuan yurisdiksi laut.

Salah satu butir yang mencuri perhatian adalah Butir 9 yang menyatakan, "The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims," yang mengarah pada potensi kerja sama di wilayah yang menjadi sengketa antara kedua negara, khususnya di Laut China Selatan (LCS). Pernyataan ini memicu kritik karena dianggap dapat berpotensi merugikan kepentingan Indonesia terkait kedaulatan wilayah, terutama terkait klaim di Natuna Utara. Pernyataan dalam Joint Statement tersebut menyoroti pengembangan bersama di wilayah dengan klaim tumpang tindih. 

Meskipun, kerja sama ekonomi dan maritim bisa dipandang sebagai langkah positif untuk meningkatkan hubungan bilateral antara Indonesia dan China, hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan terkait kedaulatan Indonesia atas wilayah Natuna Utara, yang termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Klaim sepihak China atas sebagian besar Laut China Selatan, termasuk di sekitar wilayah Natuna, telah menjadi isu sensitif dalam hubungan Indonesia-China. Dalam konteks ini, pernyataan tersebut dapat memunculkan kesan bahwa Indonesia memberikan persetujuan atau membuka ruang bagi China untuk mengklaim dan mengelola sumber daya alam di wilayah tersebut. 

Jika merujuk pada  UNCLOS   wilayah laut yang diklaim sebagai tumpang tindih merupkan wilayah yang dalam termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Berdasarkan UNCLOS, Indonesia memiliki ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pangkal pantainya. Dalam konteks ini, Laut Natuna Utara masuk ke dalam ZEE Indonesia.  

  1. Pasal 56: Memberikan hak kepada negara pesisir untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di ZEE mereka, yang terletak hingga 200 mil laut dari garis pangkal.

  2. Pasal 77: Menyatakan hak negara pesisir atas Landas Kontinen, termasuk hak untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di dasar laut di luar ZEE, asalkan sesuai dengan ketentuan UNCLOS.

  3. Pasal 121: Mengatur status pulau dan perairan di sekitarnya. Hanya pulau yang dapat dihuni yang berhak memperoleh hak zona maritim (laut teritorial, ZEE, dan landas kontinen).

Ketentuan-ketentuan ini menggarisbawahi hak eksklusif Indonesia atas ZEE dan Landas Kontinen di sekitar wilayah Natuna Utara, yang kini menjadi wilayah yang diperebutkan dengan klaim China di Laut China Selatan. Oleh karena itu, setiap pengakuan terhadap klaim sepihak atau kerja sama yang melibatkan wilayah tersebut harus dilakukan dengan memperhatikan batasan yang diatur dalam UNCLOS.

Perselisihan mengenai klaim wilayah di Laut China Selatan, khususnya yang melibatkan Indonesia dan China terkait dengan klaim Nine Dash Line, menjadi isu yang sangat krusial dalam geopolitik regional. Klaim ini juga berdampak langsung pada kepentingan Indonesia, khususnya dalam klaim wilayah Natuna Utara. Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi bagaimana putusan dari Permanent Court of Arbitration (PCA) terhadap sengketa Laut China Selatan dapat memengaruhi posisi Indonesia dan strategi penyelesaian sengketa yang lebih luas. 

China mengklaim sebagian besar Laut China Selatan melalui garis sembilan dash, yang mencakup wilayah yang tumpang tindih dengan klaim negara-negara lain, termasuk Indonesia, yang memiliki klaim atas wilayah Natuna Utara. Dalam putusan PCA tahun 2016, pengadilan menolak klaim China terhadap sejarah dan hak maritim yang diklaim melalui Nine Dash Line, mengingat ketidaksesuaian klaim tersebut dengan hukum internasional yang diatur oleh UNCLOS. Hal ini menciptakan peluang bagi Indonesia untuk menegaskan kedaulatannya atas wilayah Natuna Utara.  

UNCLOS tidak hanya memberikan pedoman mengenai hak-hak negara pesisir, tetapi juga mengatur mekanisme penyelesaian sengketa secara damai. Pasal 279 dan 283 mengharuskan negara-negara untuk menyelesaikan sengketa melalui konsultasi dan negosiasi, dan apabila diperlukan, melalui mekanisme yang disediakan oleh UNCLOS, termasuk pengadilan atau tribunal internasional. Penyelesaian sengketa berdasarkan UNCLOS sangat penting dalam konteks sengketa Laut China Selatan, di mana Indonesia terlibat langsung. 

Kerja sama yang disepakati dalam Joint Statement harus menjaga prinsip-prinsip UNCLOS yang mengutamakan kedaulatan negara atas wilayah maritim mereka. Setiap langkah diplomatik Indonesia dengan China harus memastikan bahwa tidak ada pengabaian terhadap hak-hak maritim Indonesia, khususnya terkait dengan klaim sepihak yang tidak sah atas ZEE dan Landas Kontinen Indonesia.

Dalam konteks kebijakan yang tercermin dalam Joint Statement antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping, terdapat potensi keuntungan dan risiko yang harus diperhitungkan secara hati-hati oleh Indonesia. Sementara kerja sama yang disebutkan dalam pernyataan tersebut mungkin membawa keuntungan dalam bentuk hubungan diplomatik yang lebih erat dan peluang ekonomi, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat mempengaruhi posisi Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah maritimnya, khususnya di Laut Natuna Utara.

Dari sisi positif, kerja sama dengan China dapat memperkuat hubungan kedua negara dalam bidang perdagangan, investasi, dan eksplorasi sumber daya alam. Di tengah ketegangan global dan dinamika geopolitik di Asia, memperkuat kemitraan dengan China mungkin memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam hal pengembangan ekonomi dan stabilitas regional. Selain itu, pengelolaan bersama sumber daya alam di kawasan yang berbatasan langsung dengan China bisa membuka peluang baru dalam bidang energi dan kelautan.

Namun, dari sisi negatif, pernyataan tentang "kerja sama di wilayah dengan klaim tumpang tindih" berpotensi memberikan legitimasi terhadap klaim Nine Dash Line yang diajukan oleh China, yang tidak diakui oleh komunitas internasional, termasuk Indonesia. Pengakuan atau kerja sama semacam itu bisa dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap UNCLOS dan hak-hak maritim Indonesia atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen di sekitar Natuna. Jika klaim China terus diperkuat, Indonesia bisa terjebak dalam posisi yang lemah dalam memperjuangkan kedaulatannya, baik di forum internasional maupun dalam dialog bilateral dengan negara-negara terkait.

Kebijakan ini berisiko menjadi pedang bermata dua. Jika tidak dikelola dengan hati-hati dan dalam kerangka hukum internasional yang tegas, Indonesia dapat merugikan dirinya sendiri dengan memberi kesan bahwa klaim China atas wilayah Laut China Selatan, termasuk Natuna Utara, mendapatkan pengakuan atau penguatan lebih lanjut. Hal ini bisa menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan maritim Indonesia, yang selama ini konsisten mendasarkan klaimnya pada ketentuan UNCLOS. Oleh karena itu, Indonesia perlu memastikan bahwa kerja sama tersebut tidak mengorbankan prinsip-prinsip hukum internasional dan kedaulatan nasional.

Kerja sama yang disepakati dapat mempererat hubungan diplomatik dan membuka peluang ekonomi, seperti dalam perdagangan, investasi, dan eksplorasi sumber daya alam. Di tengah dinamika geopolitik global, kemitraan dengan China juga dapat memperkuat posisi Indonesia dalam stabilitas regional dan pengembangan ekonomi, terutama di bidang energi dan kelautan.

Namun, risiko utama muncul terkait dengan pernyataan tentang "kerja sama di wilayah dengan klaim tumpang tindih." Hal ini berpotensi memberikan legitimasi terhadap klaim Nine Dash Line yang diajukan oleh China, yang tidak diakui oleh komunitas internasional, termasuk Indonesia. Jika Indonesia terjebak dalam kerja sama yang mengabaikan hak maritim negara berdasarkan UNCLOS, terutama terkait ZEE dan Landas Kontinen di sekitar Natuna, maka klaim China bisa semakin diperkuat. 

Hal Ini berisiko melemahkan posisi Indonesia dalam mempertahankan kedaulatannya, baik di forum internasional maupun dalam perundingan bilateral. Kebijakan ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati dan sesuai prinsip hukum internasional, berpotensi menjadi bumerang bagi Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa setiap kesepakatan yang diambil tidak mengorbankan kedaulatan nasional dan hak maritim Indonesia. Kompromi yang merugikan kedaulatan harus dihindari, dan kerja sama harus dilakukan dalam kerangka hukum internasional yang jelas dan tegas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun