Mohon tunggu...
Hafis Muaddab
Hafis Muaddab Mohon Tunggu... Penulis lepas, pendidik, dan relawan sosial -

Pembelajaran peradaban dan pejuang kemanusiaan www.hafismuaddab.com www.tebuirenginstitute.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Proyek Rasa Ingin Tahu

12 Februari 2014   15:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:54 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menjadi guru, akhirnya sampai juga sebuah kesadaran baru, bahwa jarang dari kita menyadari bahwa sekolah tidak selalu begitu ramah untuk bertanya tentang ide atau pemikiran. Entah itu berasal dari guru ataupun dari siswa, terlebih apabila pemikiran itu tidak lazim. Untuk sesuatu sebut saja yang tidak umum, siswa yang memiliki rasa ingin tahu dan lebih sering bertanya. Beberapa dari kita akan lebih mudah menyebutnya “anak cerewet” dan bahkan untuk anak-anak yang terkategori lambat belajar akan lebih mudah untuk menyebutnya bodoh. Entah mengapa pra guru menjadi sangat sulit untuk bersabar, meluangkan waktu sekejap memahami. Sedangkan untuk anak-anak yang pendiam dan penurut hampir semuanya menyukai dan dengan mudah menyebutnya “anak yang baik”. Padahal apakah dengan semudah itu kita dapat mengetahui karakter dan potensi seorang anak dan begitu mudah bagi seorang anak untuk mendapatkan predikat tertentu.

Seharusnya kita mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi pada diri Thomas Alva Edison. Ilmuwan dengan hak paten terbanyak yang pernah hadir di dunia ini dengan tidak berlatar belakang sekolah formal. Disebutkan di beberapa literatur, bahwa alasan pemicu dikeluarkannya Edison karena tingkah lakunya yang nakal, karena terlalu banyak bertanya. Dan oleh para gurunya hal tersebut dianggap sebuah pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dan menganggapnya bodoh serta nakal. Namun, meski tidak memiliki guru di sekolah formal tetapi ia memiliki orang tua yang mampu melihat hal tersebut sebagai potensi besar. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan ‘bodoh’ seperti, “apakah lampu ini bisa menyala dengan kumis?”, “bagaimana dengan jenggot?”, “bagaimana dengan korek api?” dan seterusnya, hingga akhirnya dia menemukan bahan yang paling tepat, yaitu wolfram dan terciptalah lampu bohlam.

Seandainya Edison tidak bertanya-tanya seperti itu, mungkin kita sekarang masih hidup di dalam kegelapan. Seandainya Einstein tidak pernah memiliki rasa penasaran yang besar, mungkin tidak akan banyak perkembangan di dalam ilmu fisika dan kimia. Seandainya Newton tidak pernah bertanya mengapa sebuah apel bisa terjatuh, mungkin kita sekarang tidak akan pernah tahu apa itu gravitasi. Pemikiran-pemikiran yang paling hebat datang dari rasa ingin tahu.

Hapus Dikotomi

Hal lain yang lazim kita jumpai ditiap sekolah adalah dikotomi IPA dan IPS. Miris rasanya ketika mendengar seorang siswa berkata “Aku takut tidak bisa masuk IPA. Apa kata dunia ! Pola pikir dan pengaruh kuat lingkungan akan “lebih hebatnya” jurusan IPA sungguh sebuah bencana pendidikan yang luar biasa besar. Dikotomi ini membuat siswa yang berhasil masuk di kelas IPA terlihat sebagai pemenang dan lebih pintar, sementara yang tersisa untuk menjadi penghuni kelas IPS adalah kumpulan pecundang dan anak-anak bodoh yang bermasalah. Padahal dengan tidak sengaja pendidikan kita telah mengarah pada praktek bullying, atau kekerasan verbal dan psikis dalam pendidikan.

Sebuah pembuktian atas fenomena yang mengemuka di Indonesia seperti, perilaku yang tidak santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan menurunnya penghargaan terhadap orang lain. Hingga pendidikan banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung, tipis toleransi, kurang menghargai orang lain, dan menganut budaya kekerasan. Pusat-pusat pendidikan seperti keluarga, masyarakat, sekolah dan bahkan universitas telah mengalami banyak kehilangan (missing) antara lain (Suyata, 2000): sense of identity, sense of humanity, sense of community, sense of culture (values) dan sense of respect.

Pendidikan telah mencerminkan fragmentasi kehidupan dan kurikuler, kompetisi individual, berkembangnya materialism, dan ketidak pedulian pada orang lain, terhambatnya kreatifitas, prakarsa, sikap kritis, inovasi dan keberanian mengambil resiko. Kebebasan individual seakan terpasung oleh tujuan pendidikan yang cenderung kognitif sentris, sehingga meminggirkan pengembangan aspek afektif seperti moral dan budi pekerti.

Padahal dalam tujuan pendidikan nasional, tertulis jelas bahwa prioritas pendidikan adalah “promote respect for self and other”. Oleh sebab itu sekolah harus mampu menjadi ruang kondusif berseminya benih-benih perdamaian. Dan sebentuk keteladanan para guru tentang nilai-nilai moral, yang menurut Lickona (1991:53) meliputi (1) sikap menghargai dan tanggung jawab, (2) kerjasama, suka menology, keteguhan hati, komitmen (3) kepedulian dan empati, rasa keadilan, rendah hati, suka menolong, (4) kejujuran, integritas, (5) berani, kerja keras, mandiri, sabar, percaya diri, banyak akal, inovasi, (6) rasa bangga, ketekunan dan (7) toleransi, kepedulian.

Ke depan kita perlu berkomitmen untuk melepas semua atribut label yang kita berikan ke anak didik kita. Menurut teori, labelling adalah pelabelan atau pemberian cap terhadap suatu individu di masyarakat yang mempunyai sifat atau kebiasaan yang dianggap minoritas oleh suatu masyarakat tersebut. Hal ini perlu dihidari, sebab, seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya. Reaksi ini muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam label yang diberikan kepadanya.

Memaknai sebuah perjumpaan

Tidaklah salah untuk menjumpai para guru untuk marah-marah di sekolah ataupun dikelas saat pembelajaran berlangsung. Marah itu sebenarnya tidak begitu menjadi persoalan, namun bagaimana rasa marah itu diekspresikan itu yang lebih berbahaya. Disebut berbahaya bila bentuk kemarahan adalah bullying. Terlebih lagi, bullying yang terwujud dalam kata-kata yang melecehkan atau merendahkan.Kata-kata itu sendiri tidak berbahaya bila tidak disertai labelling sebab krisis identitas biasanya bermula dari labelling.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun