Mohon tunggu...
Dea
Dea Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Nothing but busy🤍, berimajinasi lah hingga imajinasi mu berkembang menjadi lautan lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinlok di Kampus? Jangan ya dek ya!

16 Agustus 2024   19:34 Diperbarui: 16 Agustus 2024   19:37 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kampus adalah tempat yang dipenuhi dengan warna-warni kehidupan. Setiap sudutnya seakan menyimpan cerita, mulai dari kisah akademik yang penuh perjuangan hingga kisah cinta yang berkembang di antara bangku-bangku kuliah. Salah satu cerita yang tak pernah habis dibicarakan adalah cerita cinta lokasi atau yang lebih dikenal dengan istilah "cinlok."

Bagi sebagian besar mahasiswa, cinlok adalah hal yang biasa. Teman sekelas yang sering bersama, tugas kelompok yang menuntut kebersamaan, hingga kegiatan organisasi yang membuat dua hati saling mengenal lebih dalam. Namun, bagi Rina, cinlok adalah sesuatu yang harus dihindari. Bukan karena dia tidak percaya pada cinta, tetapi karena dia percaya bahwa cinta di kampus bisa mengalihkan fokus dari tujuan utamanya: lulus dengan predikat cum laude.

Rina adalah mahasiswa semester lima yang dikenal cerdas dan berprestasi. Ia aktif di berbagai organisasi, namun tetap bisa menjaga prestasinya di kelas. Bagi teman-temannya, Rina adalah panutan. Tapi di balik semua itu, Rina memiliki prinsip yang teguh: **"Jangan cinlok!"**

"Susah, loh, kalau sudah terlibat cinta di kampus," kata Rina pada Mira, sahabat dekatnya. "Nanti fokus kita ke kuliah jadi berantakan."

Mira hanya tertawa mendengar nasihat Rina. "Ah, masa iya? Kalau sama-sama pinter dan saling mendukung, kenapa nggak?"

"Tetap aja, Mira. Lebih baik fokus dulu ke kuliah, baru mikirin cinta setelah lulus," balas Rina tegas.

Namun, prinsip Rina mulai diuji ketika ia bertemu dengan Dito. Dito adalah ketua organisasi yang diikuti Rina. Sosoknya yang karismatik, cerdas, dan penuh perhatian membuat hati Rina sedikit goyah. Awalnya, Rina berusaha menepis perasaannya. Baginya, ini hanyalah kekaguman biasa, bukan cinta.

Tetapi semakin sering mereka bekerja sama, Rina semakin sulit mengabaikan perasaannya. Dito bukan hanya sekadar ketua organisasi, tetapi juga teman diskusi yang asyik. Setiap kali mereka bertukar ide, Rina merasa ada koneksi yang lebih dari sekadar hubungan profesional.

Suatu hari, setelah rapat organisasi selesai, Dito mengajak Rina untuk berbicara empat mata. Mereka duduk di bangku taman kampus yang agak sepi.

"Rin, aku mau ngomong sesuatu," kata Dito dengan nada serius.

Rina merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Apa itu, Dit?"

"Aku tahu ini mungkin agak tiba-tiba, tapi... Aku merasa kita punya chemistry yang baik. Aku suka cara kamu berpikir, cara kamu memimpin, dan... ya, aku suka kamu."

Rina terdiam. Perasaannya bercampur aduk antara senang, kaget, dan bingung. Ini adalah momen yang pernah ia bayangkan, tapi tidak pernah ia ingin terjadi di kampus.

"Dit, aku... Aku nggak tahu harus bilang apa," jawab Rina akhirnya.

Dito tersenyum, "Nggak apa-apa. Aku juga nggak minta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu apa yang aku rasakan."

Rina mengangguk pelan. "Aku... aku sebenarnya juga merasa nyaman sama kamu, Dit. Tapi, aku punya prinsip untuk nggak cinlok di kampus. Aku takut, nanti kita malah nggak bisa fokus kuliah."

Dito menatap Rina dengan tatapan lembut. "Aku ngerti, Rin. Tapi aku yakin kita bisa saling mendukung tanpa harus mengganggu kuliah. Cinta nggak harus menghalangi, malah bisa jadi motivasi."

Malam itu, Rina pulang dengan perasaan yang tak menentu. Ia terus memikirkan kata-kata Dito. Benarkah cinta bisa menjadi motivasi? Atau justru sebaliknya, menjadi penghalang?

Beberapa hari kemudian, Rina memutuskan untuk berbicara lagi dengan Dito. Mereka bertemu di tempat yang sama, di bangku taman kampus.

"Dit, aku sudah pikirkan semuanya," kata Rina membuka percakapan. "Aku tetap pada prinsipku untuk nggak cinlok di kampus."

Dito terdiam sejenak sebelum akhirnya tersenyum. "Aku ngerti, Rin. Dan aku menghargai keputusan kamu."

"Tapi itu bukan berarti aku nggak suka sama kamu," lanjut Rina cepat. "Aku hanya ingin kita tetap fokus ke tujuan kita di sini, yaitu lulus dengan baik. Kalau setelah lulus kita masih punya perasaan yang sama, kita bisa coba lagi."

Dito tersenyum lebar. "Aku setuju. Aku juga mau lulus dengan baik dan nggak mau hubungan kita merusak itu. Kita tetap teman, dan setelah lulus, kita lihat bagaimana nanti."

Rina merasa lega. Mereka akhirnya sepakat untuk tetap berteman tanpa melibatkan perasaan yang lebih dalam, setidaknya sampai mereka lulus. Bagi Rina, ini adalah keputusan terbaik. Cinta bisa menunggu, tapi kesempatan untuk meraih mimpi di kampus adalah sesuatu yang hanya datang sekali.

Dan siapa tahu, mungkin setelah lulus, mereka akan kembali bertemu dan melanjutkan cerita cinta yang sempat tertunda. Tapi untuk sekarang, fokus mereka adalah satu: meraih mimpi masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun