manumbuk di mata langsung (sampiran)
makan sirih karapa cambay (sampiran)
hah sa'ih dalam sakarong bulan hini (larik ber-interjeksi)
baramuk hati jantung (isi)
sayang dikasih cakap haku hidak tiba (isi)
Pada teks pantun di atas, terlihat hanya larik ke 1 dan ke 3 saja yang memiliki kesamaan rima akhir, sementara larik ke-2 dan ke-4 memiliki rima akhir yang berbeda.
Padahal sejatinya, penulis manuskrip bisa menyamakan rima akhir dengan mengubah kata "tiba" menjadi kata "sampai". Kata "sampai" memiliki makna yang sama dengan kata "tiba" sekaligus memiliki rima akhir yang sama dengan kata "cambay" pada larik ke-2. Namun tempaknya, penulis memilih diksi yang keliru saat menulis pantun.
Penutup
Sebagai penutup diungkapkan dalam artikel tersebut bahwa Unsur pantun pada teks naskah Incung, merupakan unsur "pemanis" dan penguat ungkapan dalam prosa ratap-tangis yang dihasilkan. Teks pantun yang dimuat, sangat terkait dengan ungkapan perasaan dan suasana hati penulis manuskrip.Â
Bila prosa berupa kesedihan karena masalah percintaan, maka teks pantun yang ditulis juga berkenaan dengan masalah percintaan.
Pun begitu pula, ketika prosa menonjolkan kesedihan karena nasib dan untung yang buruk, maka teks pantun yang ditulis juga berkaitan dengan kemalangan nasib.
Akan tetapi, unsur pantun bukanlah unsur wajib di dalam prosa ratap-tangis. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya teks ratap-tangis yang tidak memiliki unsur pantun di dalamnya.
Referensi
Sunliensyar, Hafiful Hadi. (2022). Warisan Budaya Pantun dalam Manuskrip Surat Incung. Manuskripta, 12(2), 251-280. doi:10.33656/manuskripta.v12i2.218
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H