Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Menghormati Alam dan Tanaman, Kunci Menjaga Ketahanan Pangan

24 November 2020   13:03 Diperbarui: 23 Maret 2022   21:44 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beras di pasar. (Foto: KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG)

Runtuhnya Peradaban Karena Kekurangan Pangan

Sudah pasti kita pernah mendengar mengenai peradaban bangsa Mesir Kuno nun jauh di Benua Afrika sana. 

Bangsa yang eksis antara tahun 3150 SM hingga tahun 31 SM ini, telah meninggalkan jejak-jejak peradaban yang sungguh memukau sepanjang sejarah manusia seperti piramida, patung spinx, tulisan hyeroglif, berbagai bangunan kuil yang megah dan lain sebagainya. 

Namun siapa sangka peradaban yang begitu agung dan hebat ini, akhirnya runtuh akibat kekurangan pangan.

Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Joseph Manning dan tim, sebagaimana yang dilansir dari express.co.uk, diketahui bahwa sistem pertanian bangsa Mesir Kuno sangat tergantung pada Sungai Nil. Air sungai nil yang meluap hingga ke daratan dimanfaatkan oleh bangsa Mesir untuk bertani gandum.

Namun suatu ketika bencana-pun datang. Letusan gunung berapi di hulu sungai menyebabkan debit sungai Nil menyusut. Mereka tidak bisa lagi memanfaatkan banjir sungai nil untuk pertanian. 

Hasil panen pun semakin berkurang sehingga terjadi kekurangan pangan. Tak sampai di situ, kekurangan pangan menyebabkan timbulnya kekacauan politik dan ekonomi di tengah masyarakat. Pemberontakan, ketegangan dan konflik antar masyarakat terjadi di mana-mana. 

Akibatnya, pertahanan kerajaan ini menjadi lemah. Hingga pada titik klimaks, kekurangan pangan membawa Mesir Kuno pada keruntuhan peradaban.

Panen padi oleh masyarakat adat di Jambi. Sumber: Jambipos-online.com
Panen padi oleh masyarakat adat di Jambi. Sumber: Jambipos-online.com

Apa yang terjadi pada bangsa Mesir Kuno di masa lalu, sesungguhnya bisa menjadi pelajaran bagi kita yang hidup sekarang. Bahwa, masalah ketahanan pangan bukanlah suatu hal yang sepele. 

Akan tetapi sangat penting dalam menyokong kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketahanan pangan ini, tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Dan lagi, setiap orang mesti dijamin untuk mendapatkan pangan yang bermutu, sehat dan terjangkau.

Tak seperti bangsa Mesir yang sumber pangan utamanya dari gandum, Bangsa Indonesia menjadikan beras sebagai sumber pangan utama. Bahkan ada slogan suatu etnis di Sumatra yang berbunyi "tak makan nasi, berarti tak makan". 

Slogan ini membuktikan bahwa beras yang berasal dari padi tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat. Beras tetap menjadi makanan pokok primadona meskipun Indonesia memiliki sumber pangan yang lain. 

Namun, masalahnya adalah sampai sejauh mana kita mampu menjamin ketersediaan beras? Sampai sejauh mana bangsa kita mampu memproduksi beras untuk konsumsi sendiri alih-alih bergantung pada bangsa lain?

Kenyataannya, perilaku yang dapat menyebabkan merosotnya ketersediaan pangan terus berlangsung di tengah masyarakat. Misalnya, alih fungsi persawahan yang semakin menjadi-jadi. 

Dalam penelitiannya, Prasada dan Rosa (2018) menyebutkan bahwa semakin menurunnya jumlah lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tanaman pangan, berdampak langsung terhadap menurunnya jumlah pangan yang dapat diproduksi di suatu wilayah.

Tidak hanya berkurangnya lahan, di sisi lain, para generasi muda masih enggan menjadi petani padi karena dipandang sebagai profesi rendahan dan tak menghasilkan. 

Belum lagi faktor non-manusia, seperti perubahan iklim yang dapat menganggu hasil panen. Hal tersebut menjadi faktor yang dapat menganggu stabilitas ketahanan pangan bangsa.

Belajar dari Kearifan Lokal, Menghormati Alam dan Tanaman 

Sedikit bercerita tentang pengalaman di waktu kecil. Suatu ketika dalam sebuah piknik saya tak dapat menghabiskan nasi yang saya makan. 

Saat hendak membuangnya, saya ditegur oleh nenek saya, kata beliau dalam bahasa Kerinci "ma idak nyampakka nasi, cagin nangihnyouh, bao ka'in mak ku bao balik untuk maken ayam" (jangan dibuang sisa nasinya, nanti si nasi akan menangis. Sini biar saya bawa pulang saja untuk makanan ayam)". 

Memang menurut kepercayaan kuno orang Kerinci,  membuang nasi sisa merupakan sesuatu yang sangat dilarang. Nasi dianggap seperti manusia, punya semangat (red. Ruh) yang bisa menangis dan merajuk. Bila nasi menangis akibat sikap manusia, jiwanya akan pergi dan otomatis akan menganggu hasil panen tahun berikutnya.

Belakangan saya mengetahui bahwa pantangan membuang nasi adalah bentuk penghormatan masyarakat Kerinci kepada padi yang menjadi sumber tanaman pangan. 

Dalam pandangan masyarakat Kerinci, padi adalah tanaman suci. Oleh sebab itu, ada pantangan yang harus dihindari dalam memperlakukannya, seperti tidak boleh dibuang dan tidak boleh dipukul. 

Selain itu, mereka juga menyelenggarakan ritual terkait dengan penghormatan kepada ruh padi (semangat padi) agar mendapatkan panen yang melimpah.

Sebagai masyarakat agraris, penghormatan terhadap tanaman padi tidak hanya berlaku di dalam masyarakat Kerinci tetapi juga etnis lain di Indonesia seperti dalam masyarakat Dayak dan Jawa. 

Di Jawa, padi dianggap tanaman suci karena tumbuh dari pusar Dewi Sri, yaitu dewi kesuburan dalam mitologi mereka (lihat Hartati, 2011). Oleh sebab itu Masyarakat Jawa menggelar upacara pada Dewi Sri sebagai dewi pelindung padi saat panen dilakukan.

Upacara metik padi di Jawa Timur. Sumber: Jatimnet.com
Upacara metik padi di Jawa Timur. Sumber: Jatimnet.com

Namun sesungguhnya, penghormatan tidak hanya dilakukan kepada tanaman padi akan tetapi pada alam secara keseluruhan. Masyarakat adat percaya bahwa hasil panen yang melimpah juga berkaitan dengan keselarasan antara manusia, tanaman dan alam. Alam meyediakan sumber air yang sangat dibutuhkan dalam sistem pertanian padi. 

Hal ini juga berimplikasi pada cara mereka meperlakukan lingkungan alam di sekitarnya. Seperti, menyakralkan sumber-sumber air baik mata air, sungai, danau, maupun hulu sungai yang kebanyakan berada di dalam hutan, dan melarang tindakan-tindakan yang dapat merusak sumber air tersebut.

Tak sampai di situ, dalam upaya menjaga ketahanan pangan masyarakat adat punya cara tersendiri yaitu menyimpan padi di dalam lumbung. 

Padi yang sudah dipanen akan langsung disimpan di dalam lumbung. Hal ini untuk menjamin ketersediaan pangan selama setahun ke depan sambil menunggu musim panen berikutnya.

Lumbung Padi di Dusun Lolo Gedang, Kerinci. Sumber: tropenmuseum.com
Lumbung Padi di Dusun Lolo Gedang, Kerinci. Sumber: tropenmuseum.com

Jika saya menjadi pemimpin, maka saya akan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal ini dalam kehidupan masyarakat dalam rangka menjaga ketahanan pangan. 

Pertama adalah masyarakat perlu diubah pola pikirnya dalam memandang sumber pangan sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat adat. 

Ketika pola pikir sudah berubah, maka ini juga akan berimplikasi pada cara kita memperlakukan makanan, seperti tidak membuang makanan sembarangan, memanfaatkan sisa makanan untuk keperluan lain misalnya untuk makanan hewan, kompos dan lain sebagainya. Tentu saja, upaya mengubah pola pikir ini harus melalui pendidikan sejak dini.

Kedua, menerapkan teknik yang dilakukan masyarakat adat dalam menyimpan ketersedian pangan. Selama ini pemerintah melalui Badan Usaha Logistik (BULOG) menyimpan pangan dalam bentuk beras. 

Cara ini  seringkali tidak efektif, karena penyimpanan yang cukup lama dapat merusak mutu beras. Sehingga ketika beras sampai di tangan masyarakat mutunya sudah berkurang.  

Ada baiknya kita mencontoh teknik yang dilakukan oleh masyarakat adat yaitu menyimpan pangan dalam bentuk gabah. Dengan demikian, beras yang ada di dalamnya tidak rusak dan mutunya masih terjamin.

Ketiga, dengan mencegah alih fungsi lahan persawahan dan menggalakkan gerakan menjadi petani. Tiap orang sesungguhnya bisa menanam tanaman pangan skala kecil dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah. 

Saat ini dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik-teknik budidaya seperti ini masih terus dikembangkan. Bahkan nantinya, masyarakat perkotaan juga bisa menjadi petani.

Dalam hal ini, peran generasi muda sangat dibutuhkan. Generasi muda harus mulai mengubah cara pandang mereka dalam melihat sumber pangan dan makanan. Mereka juga harus menerapkan sikap menghormati alam dan tanaman  serta  "menularkan " atau mengkampanyekan sikap seperti itu kepada orang lain melalui berbagai media.

Generasi muda juga harus mengubah mindset mereka tentang menjadi petani. Petani bukanlah profesi rendahan bahkan amat mulia. Tanpa mereka, bagaimana kita bisa merasakan kenyang dan menikmati cita rasa kuliner yang beraneka ragam? 

Saya kira banyak petani-petani sukses dan memiliki pendapat luar biasa dari profesinya tersebut.

Referensi:

1. Carey, Joseph. "Ancient Egypt Wiped out by Social Stress caused due to Volcanoes and Climate Change" diterbitkan di www.express.co.uk pada 18 Oktober 2017

2. Prasada I. M. Y. T. A. Rosa, 2018. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah Terhadap Ketahanan Pangan Di Daerah Istimewa Yogyakarta Antique, JSEP 14(3): 210 - 224.

3. Hartati, Sri Krisna Dewi. 2011. "Peranan Dewi Sri dalam Tradisi Pertanian di Indonesia"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun