Tak seperti bangsa Mesir yang sumber pangan utamanya dari gandum, Bangsa Indonesia menjadikan beras sebagai sumber pangan utama. Bahkan ada slogan suatu etnis di Sumatra yang berbunyi "tak makan nasi, berarti tak makan".Â
Slogan ini membuktikan bahwa beras yang berasal dari padi tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakat. Beras tetap menjadi makanan pokok primadona meskipun Indonesia memiliki sumber pangan yang lain.Â
Namun, masalahnya adalah sampai sejauh mana kita mampu menjamin ketersediaan beras? Sampai sejauh mana bangsa kita mampu memproduksi beras untuk konsumsi sendiri alih-alih bergantung pada bangsa lain?
Kenyataannya, perilaku yang dapat menyebabkan merosotnya ketersediaan pangan terus berlangsung di tengah masyarakat. Misalnya, alih fungsi persawahan yang semakin menjadi-jadi.Â
Dalam penelitiannya, Prasada dan Rosa (2018) menyebutkan bahwa semakin menurunnya jumlah lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tanaman pangan, berdampak langsung terhadap menurunnya jumlah pangan yang dapat diproduksi di suatu wilayah.
Tidak hanya berkurangnya lahan, di sisi lain, para generasi muda masih enggan menjadi petani padi karena dipandang sebagai profesi rendahan dan tak menghasilkan.Â
Belum lagi faktor non-manusia, seperti perubahan iklim yang dapat menganggu hasil panen. Hal tersebut menjadi faktor yang dapat menganggu stabilitas ketahanan pangan bangsa.
Belajar dari Kearifan Lokal, Menghormati Alam dan TanamanÂ
Sedikit bercerita tentang pengalaman di waktu kecil. Suatu ketika dalam sebuah piknik saya tak dapat menghabiskan nasi yang saya makan.Â
Saat hendak membuangnya, saya ditegur oleh nenek saya, kata beliau dalam bahasa Kerinci "ma idak nyampakka nasi, cagin nangihnyouh, bao ka'in mak ku bao balik untuk maken ayam" (jangan dibuang sisa nasinya, nanti si nasi akan menangis. Sini biar saya bawa pulang saja untuk makanan ayam)".Â
Memang menurut kepercayaan kuno orang Kerinci, Â membuang nasi sisa merupakan sesuatu yang sangat dilarang. Nasi dianggap seperti manusia, punya semangat (red. Ruh) yang bisa menangis dan merajuk. Bila nasi menangis akibat sikap manusia, jiwanya akan pergi dan otomatis akan menganggu hasil panen tahun berikutnya.
Belakangan saya mengetahui bahwa pantangan membuang nasi adalah bentuk penghormatan masyarakat Kerinci kepada padi yang menjadi sumber tanaman pangan.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!