Tempayan tersebut merupakan wadah terbuka dengan ukuran panjang sekitar 80 cm dan lebar sekitar 60 cm (Foto 1). Permukaan tempayan berwarna hitam dan sangat rapuh karena tidak dibakar secara tidak sempurna. Di dalam tempayan ada lagi periuk kecil. Warna nya merah polos dan diletakkan dalam posisi sebaliknya, mulutnya menghadap ke arah utara.
Hanya satu meter di sisi utara dari tempayan pertama, terdapat tempayan ke dua. Ukuran dan kondisinya tidak jauh berbeda. Hanya separuh yang masih terkubur di dalam tanah dan sisanya sudah dirusak. Namun tempayan ini punya orientasi yang berbeda. Bagian mulutnya justru menghadap ke arah timur.Â
Di dalam tempayan juga terdapat wadah kecil dengan orientasi sebaliknya. Bagian tanah yang dikupas kemudian ditutup kembali, supaya tidak dirusak dan diganggu orang serta untuk kepentingan penelitiaan di masa mendatang.
Pengamatan terhadap dua tempayan ini mengindikasikan bahwa lokasi ini merupakan situs kubur tempayan. Berdasarkan laporan penelitian arkeologi sebelumnya, kubur tempayan dengan ciri serupa juga ditemukan di Siulak Tenang, sekitar 8 km ke arah baratlaut dari lokasi ini.
Kami kemudian menelusuri punggung atau bagian landai bukit di sisi barat. Ratusan pecahan tembikar berserakan di permukaan tanah (Foto 2). Sebagian yang lain masih terkubur. Ukurannya sangat bervariasi dari wadah yang sangat besar hingga berukuran kecil.Â
Hampir semuanya berwarna merah. Hanya ada satu pecahan keramik berwarna putih dan mungkin sekali merupakan pecahan keramik asing. "Menurut hitungan saya ada sekitar 26 hingga dua puluh delapan guci besar yang terlihat dipermukaan tanah, tapi kondisinya hancur sebagian", pungkas Bang DP.
Cerita bang DP membuat hati saya berkecamuk, bergumam menyayangkan hal tersebut mengapa sampai terjadi. Saya pikir, apa yang dilakukan oleh pekerja proyek tersebut adalah gambaran bagaimana masyarakat awam melihat tinggalan peradaban dari masa lalu. Seumpama sampah yang tidak berguna dan tak ada nilainya, jadi wajar dirusak dan dilindas alat berat begitu saja.
Padahal tinggalan semacam ini dilindungi oleh Undang-undang. Sangat wajar bila pekerja proyek tidak mengetahui adanya UU tentang cagar budaya, namun bagaimana mereka yang berkepentingan di belakangnya? Apa benar-benar buta UU juga?
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur apapun itu, adalah untuk kepentingan masyarakat juga. Akan tetapi, pembangunan yang dilakukan juga wajib memperhatikan keselamatan dan pelestarian tinggalan arkeologi yang ada di sana.
Saya tidak paham bagaimana mereka bisa mengangkangi UU tersebut, dan bagaimana prosedur pelaksanaan proyek di suatu tempat bisa berjalan. Apakah analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan uji-uji yang lain dilakukan oleh mereka?