Suatu pagi, teman saya di FB, mengomentari postingan yang saya bagikan, Bang DP namanya. Terus terang, saya tidak begitu mengenalinya. Ia meminta saya untuk memeriksa kotak pesan. Sebenarnya, ia sudah beberapa kali meminta hal serupa tetapi saya acuhkan saja. Namun, entah mengapa pagi itu saya mengabulkan permintaannya.
Di kotak pesan, ia menanyakan tentang umur kubur tempayan yang ada di Kerinci. Saya memberitahukan beberapa situs berasal dari abad ke 5 SM-2 M, situs lain berusia lebih muda. Kemudian ia mengatakan bahwa ia menemukan lokasi serupa tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Saya kemudian menanyakan bagaimana keadaan tempat yang ia ceritakan itu. Katanya, ada puluhan guci yang terkubur di dalam tanah. Namun sebagian guci-guci tersebut dalam keadaan rusak.
Cerita bang DP membuat saya sangat penasaran. Apakah benar tempat tersebut merupakan situs arkeologi. Apalagi ia menyebutkan, "guci" dalam kondisi rusak. Tentu sebagai seseorang yang pernah menempuh pendidikan di bidang arkeologi, saya merasa punya tanggung jawab moral akan hal itu.
Singkat cerita, saya meminta agar ditemani ke lokasi tersebut. gayung bersambut tampaknya, Bang DP sangat bersemangat menerima ajakan saya. Sehabis Jum'atan sekitar pukul 14.00 kami berdua segera menuju ke sana.
Lokasi yang ia ceritakan tidak jauh dari jalan raya yang baru dibangun oleh pemerintah. Hanya beberapa puluh meter saja ke arah barat dari jalan tersebut. Letaknya berada di sebuah bukit yang disebut sebagai Bukit Ulu Sungai Pauh. "Konon ceritanya tempat ini terkenal angker", ujar Bang DP.
Sayapun merasakan keangkeran tempat tersebut. Ketika berdiri di puncak bukit, angin kencang segera berhembus, diiringi bunyi sayu pepohonan dan pohon bambu di kaki bukit. Tiba-tiba bulu roma saya merinding, merasakan kombinasi peristiwa alam tersebut. Memang ada suasana yang agak berbeda ketika berada di sana.
Terlepas dari suasana angkernya, bukit ini menyuguhkan pemandangan tak kalah mempesona. Di sebelah selatan terlihat deretan desa-desa dan hamparan sawah yang mengelilinginya. Lembah sebelah barat kaki bukit dilalui sungai Batang Merao dan terdapat satu desa di sana yang bernama Napal Betakuk.
Tinggalan arkeologis di sini juga tak kalah mencengangkan. Pecahan-pecahan tembikar berwarna merah berserakan di permukaan tanah, tak terhitung jumlahnya. Sebarannya dari puncak hingga punggung bukit. "Ternyata yang diceritakan bang DP benar adanya", gumam saya di dalam hati.
Tembikar merupakan salah satu data dalam arkeologi. Tembikar terbuat dari tanah liat yang dibakar dan dibentuk dalam berbagai bentuk wadah seperti tempayan, pasu, periuk, belanga, kendi dan lain sebagainya. Tembikar inilah yang dimanfaatkan untuk berbagai keperluan oleh manusia masa lampau. Keberadaannya di suatu tempat menandakan adanya jejak-jejak aktivitas manusia di sana pada masa lampau.
Bang DP mengarahkan saya ke bagian puncak bukit. Ia menunjukkan keberadaan tempayan yang masih terlihat di permukaan tanah. Tempayan tersebut posisinya rebah. Bagian mulut menghadap ke arah selatan. Kondisinya sebagian rusak dan sebagian masih terkubur di dalam tanah. Saya kemudian mengupas sedikit tanah (sekitar 3-5 cm) di sekeliling tempayan untuk melihat bentuk, ukuran dan untuk kepentingan dokumentasi.
Tempayan tersebut merupakan wadah terbuka dengan ukuran panjang sekitar 80 cm dan lebar sekitar 60 cm (Foto 1). Permukaan tempayan berwarna hitam dan sangat rapuh karena tidak dibakar secara tidak sempurna. Di dalam tempayan ada lagi periuk kecil. Warna nya merah polos dan diletakkan dalam posisi sebaliknya, mulutnya menghadap ke arah utara.
Hanya satu meter di sisi utara dari tempayan pertama, terdapat tempayan ke dua. Ukuran dan kondisinya tidak jauh berbeda. Hanya separuh yang masih terkubur di dalam tanah dan sisanya sudah dirusak. Namun tempayan ini punya orientasi yang berbeda. Bagian mulutnya justru menghadap ke arah timur.Â
Di dalam tempayan juga terdapat wadah kecil dengan orientasi sebaliknya. Bagian tanah yang dikupas kemudian ditutup kembali, supaya tidak dirusak dan diganggu orang serta untuk kepentingan penelitiaan di masa mendatang.
Pengamatan terhadap dua tempayan ini mengindikasikan bahwa lokasi ini merupakan situs kubur tempayan. Berdasarkan laporan penelitian arkeologi sebelumnya, kubur tempayan dengan ciri serupa juga ditemukan di Siulak Tenang, sekitar 8 km ke arah baratlaut dari lokasi ini.
Kami kemudian menelusuri punggung atau bagian landai bukit di sisi barat. Ratusan pecahan tembikar berserakan di permukaan tanah (Foto 2). Sebagian yang lain masih terkubur. Ukurannya sangat bervariasi dari wadah yang sangat besar hingga berukuran kecil.Â
Hampir semuanya berwarna merah. Hanya ada satu pecahan keramik berwarna putih dan mungkin sekali merupakan pecahan keramik asing. "Menurut hitungan saya ada sekitar 26 hingga dua puluh delapan guci besar yang terlihat dipermukaan tanah, tapi kondisinya hancur sebagian", pungkas Bang DP.
![Foto 2. Pecahan tembikar di permukaan tanah punggung bukit. Dok. H.H. Sunliensyar](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/dsc-1824blogb-jpg-5fac9bd5d541df69bc501bc3.jpg?t=o&v=770)
Cerita bang DP membuat hati saya berkecamuk, bergumam menyayangkan hal tersebut mengapa sampai terjadi. Saya pikir, apa yang dilakukan oleh pekerja proyek tersebut adalah gambaran bagaimana masyarakat awam melihat tinggalan peradaban dari masa lalu. Seumpama sampah yang tidak berguna dan tak ada nilainya, jadi wajar dirusak dan dilindas alat berat begitu saja.
Padahal tinggalan semacam ini dilindungi oleh Undang-undang. Sangat wajar bila pekerja proyek tidak mengetahui adanya UU tentang cagar budaya, namun bagaimana mereka yang berkepentingan di belakangnya? Apa benar-benar buta UU juga?
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur apapun itu, adalah untuk kepentingan masyarakat juga. Akan tetapi, pembangunan yang dilakukan juga wajib memperhatikan keselamatan dan pelestarian tinggalan arkeologi yang ada di sana.
Saya tidak paham bagaimana mereka bisa mengangkangi UU tersebut, dan bagaimana prosedur pelaksanaan proyek di suatu tempat bisa berjalan. Apakah analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan uji-uji yang lain dilakukan oleh mereka?
Jikalau saja waktu itu pekerja proyek menghentikan aktivitasnya kemudian melaporkan temuan ini kepada pemerintah, tentu ceritanya tidak seperti sekarang. Pihak pemda bersama pihak terkait bisa memikirkan solusinya terbaik untuk hal ini. Misalnya, pemindahan lokasi pembangunan rumah sakit, ekskavasi penyelamatan dan lain sebagainya.
![Foto 3. Bagian mulut wadah tembikar yang tampak di permukaan tanah. Dok. H.H. Sunliensyar](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/12/dsc-1843de-jpg-5fac9be4d541df1eca23dc52.jpg?t=o&v=770)
Meskipun sudah sangat terlambat, melalui tulisan ini saya berusaha berbagi dan melaporkan ke publik tentang apa yang terjadi di daerah menyangkut cara mereka memperlakukan tinggalan arkeologis semacam ini. Saya yakin kejadian yang saya ceritakan tidak hanya terjadi di Kerinci, tetapi juga di berbagai tempat di Indonesia yang tidak terjangkau pemberitaan.
Perusakan situs arkeologi ini, menambah daftar panjang kehilangan data penting untuk mengungkapkan peradaban yang pernah berkembang di Bumi Sakti Alam Kerinci, Dataran Tinggi Jambi. Lembah subur yang tak pernah surut daya tariknya. Lembah yang mengundang manusia dari berbagai tempat untuk menghuninya sejak ribuan tahun lalu .
Bersama bang DP, saya berdiri di tengah ilalang yang mulai tumbuh dan menutupi serakan tembikar. Kami membayangkan, penelitian arkeologis dapat dilakukan di tempat ini sesegera mungkin. Dengan demikian, data-data arkeologi yang masih tersisa dapat terselamatkan. "Saya tidak tertarik dengan nilai mistis dan ekonomisnya, saya Cuma ingin tahu sejarahnya dan sejak kapan manusia tinggal di sekitar ini", ujar bang DP.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI