Menolak perbedaan sama halnya dengan mengingkari kemahaciptaan Tuhan. Saya dan bapak di dalam foto ini banyak benar perbedaannya, baik dari etnis, fisik, agama, maupun tempat tinggal.
Kami hidup dalam lingkungan budaya yang sungguh jauh berbeda. Saya hidup dalam lingkungan budaya orang Kerinci yang jauh di pedalaman Sumatera. Sementara si bapak, hidup dalam lingkungan budaya orang Manggarai yang berjarak bermil-mil jauhnya dari tempat tinggal saya.Â
Bahasa sudah barang tentu berbeda pula. Jika sang bapak berbahasa Manggarai, saya tak mengerti sama sekali. Pun begitu pula sebaliknya jika saya membawakan bahasa Ibu, bahasa Kerinci. Â Tak akan dimengerti sama sekali. Meski para ahli bahasa bercakap, bahwa bahasa Kerinci dan Manggarai sesungguhnya masih satu rumpun bahasa yang sama. Tetapi keduanya terpisah sejak ribuan tahun lalu.Â
Agama berbeda pula antara saya dan si bapak. Orang-orang Sumatera mayoritas adalah pemeluk Islam yang taat. Sejarah pengislamannya bermula sejak abad ke-7 hingga kesultanan Islam benar-benar berdiri di sana pada abad ke-13 M.Â
Sejarah orang Manggarai sedikit berbeda. Meski telah bersentuhan dengan dunia Islam lewat perdagangan. Bahkan legenda menyebutkan leluhur datang dari Tanah Minangkabau, tetapi mayoritas mereka memilih untuk menjadi Kristen.
Lihat pula:Â "Tidak Selamanya Perang itu Jahat," Perang dalam Kaitannya dengan Agama, Budaya dan Kemerdekaan
Di dunia akademis, segala macam perbedaan imerupakan perbincangan menarik. Perbedaan pikiran, fisik, ideologi, bahasa, agama, dan budaya digali sedalam mungkin. Laksana menggali lubang tambang yang berisi emas tiada habisnya.Â
Dari berbagai sudut pandang, milyaran manusia dibagi dalam berbagai penggolongan. Setelah dibagi dalam golongan yang berbeda dicari pula persamaannya. Itulah kerja para akademisi yang menggali fenomena menarik dari kehidupan manusia.
Bahkan, ada satu cabang ilmu yang sampai-sampai menggali perbedaan ke akar-akarnya, sampai hal terkecil dari fisik manusia sekalipun. Dengan melihat ciri fisik tersebut mereka membagi manusia dalam tiga ras utama; kaukasoid, mongoloid dan negroid.
Berkat ilmu tersebut, kita bisa mengidentifikasi manusia yang hidup sekarang hanya dengan melihat warna kulit, bentuk hidung, bentuk mata, rambut dan berbagai bentuk fisik yang tampak. Bahkan kita bisa mengidentifikasi ras manusia yang telah tiada. Dari manusia yang meninggal sebulan lalu hingga yang meninggal ribuan tahun lalu. Caranya dengan menyelidiki rangka tubuh yang tersisa seperti tengkorak, bentuk gigi, bentuk tungkai dan lain sebagainya. Saya kira cabang ilmu ini benar-benar ingin membuktikan kreatifitas Tuhan.
Namun, ketika isu perbedaan ini dilempar ke dunia politik. Ia seolah-olah dosa dan aib yang tak patut diperbincangkan. Perbedaan dianggap menjadi alat merendahkan martabat manusia dan alat untuk memecah belah persatuan bangsa.Â
Entah sejak kapan perbedaan fisik dijadikan alat untuk merendahkan martabat manusia. Saya yakin orang-orang prasejarah tak melakukan itu. Perbedaan fisik yang terbentuk secara alami, ataupun atribut pembeda yang sengaja dipasang ditubuh mereka hanyalah penanda golongan atau penanda kelompol mereka dengam kelompok lain. Sehingga tentu mana kelompok sekutu dan mana kelompok yang notabenenya adalah rival dalam satu kawasan.
Isu ras mulai muncul sebagai alat propaganda politik tampaknya sudah di mulai saat peradaban manusia semakin maju seperti di era Mesir Kuno. Di dalam kitab suci diceritakan bangsa Mesir memperbudak orang Yahudi yang ada di sana. Mereka menjadikan bangsa Yahudi sebagai bangsa kelas rendahan kala itu.
Perilaku bangsa Mesir Kuno, tampaknya terus dilanggengkan hingga masa kolonialisasi. Bangsa Eropa merasa diri mereka sebagai ras yang unggul dibandingkan dengan bangsa-bangsa berlain ras di tempat-tempat yang mereka jajah.Â
Warna kulit menjadi isu hangat, semakin cerah kulit seseorang semakin unggul pula ras mereka. Sebaliknya, semakin gelap semakin tak unggul pula ras mereka.
Di sisi lain pula, perbedaan justru mampu menjadi alat mempersatukan bangsa. Hal ini seperti apa yang terjadi di Indonesia. Meski dihuni oleh ratusan etnis yang berbeda, rasa senasib dan sepenanggungan mampu menyatukan mereka. Sehingga terbentuklah bangsa baru yang menamakan diri sebagai bangsa Indonesia. Pepatah Melayu mengatakan "asam di gunung, garam di laut ketemu di dalam belanga," Kerinci, Manggarai, Melayu, Jawa bertemu dalam satu bangsa.
Bagi saya, segala sesuatu yang terkait dengan perbedaan tidaklah tabu dan tidak terlarang untuk diperbincangkan. Perbedaan terbentuk secara alamiah, hasil kreasi Tuhan yang tak bisa ditolak dan dipungkiri. Akan tetapi, semuanya itu tergantung kita yang menggunakan dan memaknainya. Bila segala macam perbedaan digunakan untuk memecah belah persatuan. Maka, terlaranglah untuk dibincangkan. Akan tetapi, bila narasi perbedaan mampu menyatukan kita, maka pantaslah untuk dirawat bersama.
Dirgahayu Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H