Pertama, kekurangan sumber daya manusia di bidang cagar budaya. Orang-orang yang ditempatkan di bagian bidang kebudayaan tidak memahami mengenai cagar budaya bahkan tidak mengetahui adanya UU tentang cagar budaya. Bagi mereka, budaya hanya dipahami hanya sebatas tari-tarian, musik tradisional, tradisi lisan dan sebagainya.Â
Padahal budaya mencangkup aspek yang luas, termasuk yang bersifat kebendaan seperti bangunan kuno-tradisional, tinggalan arkeologi, naskah-naskah kuno, benda etnik dan lain sebagainya. Oleh karenanya, mereka mengabaikan budaya yang bersifat kebendaan ini dan dianggap tidak penting dalam membangun daerah.
Kedua, masalah anggaran. Karena ketidaktahuan tentang adanya UU cagar budaya, pemda tidak menyediakan anggaran khusus atau kekurangan dana untuk mendanai semua biaya dalam proses penetapan cagar budaya termasuklah honor bagi Tim Ahli Cagar Budaya, petugas lapangan hingga kompensasi bagi pemilik cagar budaya.
Anggaran pemda Kerinci banyak terserap untuk pendanaan bidang lain yang tidak begitu penting. Sebagai contoh, pembangunan dan perbaikan infrastruktur seperti jalan, irigasi dan lain lain.Â
Proyek semacam ini merupakan proyek sepanjang tahun dan  didalangi oleh banyak mafia licik di dalamnya. Bayangkan saja, berbagai infrastruktur sengaja dibuat dengan kualitas yang buruk sehingga cepat mengalami kerusakan.
Dengan begitu anggaran perbaikan infrastruktur dapat dikeluarkan lagi pada tahun berikutnya dan begitu lagi seterusnya. Akibatnya anggaran yang ada habis hanya untuk keperluan semacam ini.Â
Ketiga, masalah politik. Bagian ini  yang paling memuakkan saya, pejabat berwenang mencampuradukkan masalah pribadi dan masalah politik di dalam urusan publik. Banyak orang-orang yang memiliki kompetisi di bidang tersebut sengaja tidak dilibatkan karena perbedaan memiliki perbedaan pandangan politik.Â
Kasus lain adalah sengaja mengajak orang-orang di lingkungan kerjanya meski tidak kompeten dalam bidang tersebut. Hal ini dilakukan supaya dana atau anggaran tidak diserap oleh orang atau instansi lain. Padahal di luar sana banyak orang-orang yang handal di bidang cagarbudaya dan kepurbakalaan.
Masalah di atas mungkin saja juga dialami oleh daerah lain di Indonesia. Tidak hanya terjadi di Kerinci. Begitu pula berbagai faktor lain yang belum terungkap di dalam tulisan ini. Tentu saja diperlukan penyelidikan lanjutan.
Memang di Kerinci ada beberapa tinggalan arkeologi yang berstatus sebagai agar budaya seperti situs megalitik batu patah, situs batu meriam, situs batu silindrik serta masjid-masjid kuno.
 Akan tetapi, situs-situs tersebut ditetapkan berdasarkan UU yang lama, sebelum tahun 2010. Sejak 2010 hingga sekarang, belum ada penetapan cagar budaya yang baru. Termasuk naskah kitab Undang-undang Tanjung Tanah belum berstatus sebagai benda cagar budaya.