Apalagi Kerinci yang letaknya jauh di pedalaman Sumatra semakin menambah beratnya medan yang harus dilalui oleh para jamaah haji.
Ada dua jalur yang mereka ditempuh untuk menuju ke Tanah Suci di masa lalu. Pertama melalui perjalanan darat terlebih dahulu menuju ke Pantai Barat Sumatra (Padang) kemudian naik kapal menuju Batavia.
Dari sana mereka menuju Pulau Temasik (Singapura). Kedua, melewati darat menuju Sungai Batanghari, dari Batanghari mereka berperahu atau naik kapal kecil menuju Muara Sabak
Dari Muara Sabak mereka naik kapal menuju Singapura. Kemudian dari Singapuralah mereka bersama-sama Jamaah Haji dari seluruh wilayah Nusantara berangkat menuju negeri Judah (Jeddah kini).
Perjalanan mereka bukanlah perjalanan sehari dua hari, tetapi perjalanan yang berbulan-bulan. Jarang sekali perempuan Kerinci yang ikut berhaji mengingat beratnya medan yang dilalui itu.
Di antara mereka bahkan ada yang tidak pulang kembali ke Kerinci karena menetap di Mekkah, menetap di Semenanjung Malaya untuk mencari kehidupan baru atau bahkan wafat perjalanan.
Tentu saja, bagi kerabat yang ditinggalkan perjalanan ke Tanah Suci bukanlah perjalanan yang menggembirakan bagi mereka.
Akan tetapi, perjalanan yang mengundang kesedihan. Entah bertemu lagi entah tidak dengan kerabat mereka.
Meskipun sedih, mereka memaklumi bahwa perjalanan itu adalah perjalanan suci yang wajib dilaksanakan bagi muslim yang mampu sebagai rukun Islam ke-lima. Oleh sebab itu, senandung tale naik haji tak hanya berisi ungkapan kesedihan tetapi juga ungkapan do'a dan harapan:
"Lah tijurai sibungo pandan
Kembanglah pulo bungo inti
Mintak selamat kayo di jalan
Sampai pulo di tanah Suci"
Terjemahan:
Sudah terjurai bunga pandan,
kembang pula bunga inti,
minta selamatlah tuan dijalan,
sampai pula di Tanah Suci