Sampah terutama sampah plastik menjadi isu utama masalah lingkungan di berbagai belahan dunia saat ini. Apalagi di negara kita, Indonesia dimana buang sampah sembarangan telah menjadi tradisi masyarakatnya di dalam sudut pandang saya.Â
Tradisi di dalam KBBI diartikan sebagai adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan masyarakat. Pengertian ini dipertegas lagi oleh Soekamto(1990) yang mengatakan bahwa tradisi adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dengan secara langgeng (berulang-ulang). Â
Memang benar, perilaku buang sampah sembarangan ini merupakan warisan leluhur kita dan salah satu tradisi yang masih kekal dijalankan hingga kini oleh sebagian masyarakat
Tak ada satupun tinggalan arkeologis ataupun sakedar relief di dinding candi tentang adanya tempat pembuangan sampah khusus yang dibuat di masa lalu.Â
Nenek moyang kita meninggalkan sampah sembarangan, baik sampah-sampah makanan maupun sisa-sisa pembuatan alat-alat mereka ditinggalkan begitu saja pada tempat mereka mengolah dan mengonsumsi bahan tersebut.Â
Meskipun demikian, keberadaan sampah kerang/tumpukan yang dikenal juga sebagai "kjokkenmoddinger" menjadi pengecualian sebab masih jadi perdebatan hangat apakah samapah-sampah tersebut mereka buang pada tempat khusus ataukah merupakan bagian dari kebiasaan buang sampah sembarangan di masa lalu. Tinggalan sampah dan sisa-sisa ini juga menjadi suatu hal yang dicari arkeolog sebagai data dalam ilmu arkeologi.
Pada beberapa etnis di Indonesia, buang sampah sembarangan juga merupakan tradisi dari nenek moyang mereka. Orang Dayak misalnya, sengaja membuat lantai rumah panggung agak jarang agar memudahkan mereka membuang sampah sisa makanan dari dalam rumah mereka.Â
Pun begitu pula dalam masyarakat Kerinci, nenek saya sendiri membuang sampah-sampah sisa makanan langsung dari jendela dapur ke luar rumah. Hal ini menurut pengamatan hampir merata dilakukan oleh generasi-generasi tua setingkat almarhumah nenek saya.
Apakah mereka sedemikian joroknya? --Tentu saja saya mengambil istilah jorok ini dari sudut pandang kita kini---Kalau kita cermati lagi, sampah-sampah yang mereka buang di sembarangan tempat di masa lalu sebagian  adalah sampah organik.Â
Makanan dan apa-apa yang mereka gunakan termasuk tas, alat makan dan lain sebagainya sebagian besar terbuat dari bahan organik yang berasal dari lingkungan di sekitar mereka.Â
Sehingga Apa-apa yang mereka buang, kalau tidak dimakan hewan peliharaan akan terurai sedemikian cepatnya di dalam tanah. Hal ini malah berguna bagi kesuburan tanah.Â
Oleh sebab itu, meskipun kegiatan buang sampah sembarang dilakukan, jalan-jalan di kampung di masa lalu tetap bersih dari sampah (lihat gambar 2).
Namun tradisi ini akan menjadi masalah besar bila sampah-sampah yang mereka buang sembarangan tidak lagi sampah organik melainkan sampah plastik yang sudah dipastikan sulit terurai.Â
Suatu contoh, dulu , ketika sebuah keluarga menggelar kenduri atau hajatan mereka menyediakan gelas sendiri. Akan tetapi kini, fungsi gelas telah tergantikan botol-botol air mineral yang terbuat dari plastik dengan alasan lebih praktis.Â
Kini hampir setiap keluarga, restoran dan rumah makan menggunakan air kemasan dari plastik. Tentu saja hal ini menimbulkan bahaya besar bagi lingkungan bila keberadaan plastik yang menjamur ini terikat dalam sebuah tradisi buang sampah sembarangan.Â
Jangankan plastik yang dibuang sembarangan tempat, sampah plastik yang dibuang pada tempatnyapun masih menjadi problem diberbagai negara terkait pengolahannya.
Problem di atas diperparah dengan pembetonan jalan di kampung-kampung -- saya tidaklah heran, besarnya kucuran dana desa dari pusat ditambah dengan pembangunan dalam alam pikiran masyarakat kampung adalah pembetonan jalan---mengurangi area tempat penguraian sampah organik sekaligus mengurangi area resapan air yang sudah pasti mengakibatkan banjir dan berdampak buruk bagi kesehatan lingkungan.
Jikalau ditilik sejarahnya, plastik bukan hasil ciptaan orang Indonesia ataupun leluhur  orang Indonesia melainkan oleh orang Barat yakni Leo Baekeland. Ia adalah seorang warga Amerika kelahiran Belgia yang menemukan plastik sintetis (bakelit) melalui penelitiannya.Â
Plastik sintetis ini kemudian diindustrialisasi dan dijadikan sebagai bahan kemasan bagi barang-barang produksi. Barang-barang kemasan plastik dan plastik sintetis itu sendiri kemudian dijual kepada orang-orang Indonesia.Â
Mirisnya keberadaan plastik yang dibuat dalam berbagai bentuk ini kemudian menggeser keberadaan  hasil produksi  alami masyarakat tradisional. Misalnya saja, tas-tas anyaman diganti oleh kantong-kantong plastik.
Keberadaan plastik yang menjamur ini tidak pula dibarengi perubahan tradisi buang sampah sembarangan menjadi masyarakat yang peduli sampah. Ketidakjelasan sikap pemerintah mengatasi sampah plastik turut menambah kompleks dan ruwetnya masala hini.Â
Di samping itu, sudah selayaknya dunia barat mengumandangkan kampanye antiplastik sebagai tanggung jawab atas produksi plastik dan industrialisasinya yang mereka inisiasi di masa lalu.Â
Di masa mendatang semua warga dunia harus benar-benar berkomitmen mengurangi penggunaaan sampah plastik ini sebelum keberadaannya tidak bisa dikendalikan dan merusak lingkungan semakin parah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H