Sehingga Apa-apa yang mereka buang, kalau tidak dimakan hewan peliharaan akan terurai sedemikian cepatnya di dalam tanah. Hal ini malah berguna bagi kesuburan tanah.Â
Oleh sebab itu, meskipun kegiatan buang sampah sembarang dilakukan, jalan-jalan di kampung di masa lalu tetap bersih dari sampah (lihat gambar 2).
Namun tradisi ini akan menjadi masalah besar bila sampah-sampah yang mereka buang sembarangan tidak lagi sampah organik melainkan sampah plastik yang sudah dipastikan sulit terurai.Â
Suatu contoh, dulu , ketika sebuah keluarga menggelar kenduri atau hajatan mereka menyediakan gelas sendiri. Akan tetapi kini, fungsi gelas telah tergantikan botol-botol air mineral yang terbuat dari plastik dengan alasan lebih praktis.Â
Kini hampir setiap keluarga, restoran dan rumah makan menggunakan air kemasan dari plastik. Tentu saja hal ini menimbulkan bahaya besar bagi lingkungan bila keberadaan plastik yang menjamur ini terikat dalam sebuah tradisi buang sampah sembarangan.Â
Jangankan plastik yang dibuang sembarangan tempat, sampah plastik yang dibuang pada tempatnyapun masih menjadi problem diberbagai negara terkait pengolahannya.
Problem di atas diperparah dengan pembetonan jalan di kampung-kampung -- saya tidaklah heran, besarnya kucuran dana desa dari pusat ditambah dengan pembangunan dalam alam pikiran masyarakat kampung adalah pembetonan jalan---mengurangi area tempat penguraian sampah organik sekaligus mengurangi area resapan air yang sudah pasti mengakibatkan banjir dan berdampak buruk bagi kesehatan lingkungan.
Jikalau ditilik sejarahnya, plastik bukan hasil ciptaan orang Indonesia ataupun leluhur  orang Indonesia melainkan oleh orang Barat yakni Leo Baekeland. Ia adalah seorang warga Amerika kelahiran Belgia yang menemukan plastik sintetis (bakelit) melalui penelitiannya.Â
Plastik sintetis ini kemudian diindustrialisasi dan dijadikan sebagai bahan kemasan bagi barang-barang produksi. Barang-barang kemasan plastik dan plastik sintetis itu sendiri kemudian dijual kepada orang-orang Indonesia.Â
Mirisnya keberadaan plastik yang dibuat dalam berbagai bentuk ini kemudian menggeser keberadaan  hasil produksi  alami masyarakat tradisional. Misalnya saja, tas-tas anyaman diganti oleh kantong-kantong plastik.