Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Sejarah: Belenggu Hutang dan Awal Kehancuran Kesultanan Jambi

24 Mei 2019   14:30 Diperbarui: 24 Mei 2019   14:46 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cap/stempel Pangeran Sutawijaya, salah satu gelar Pangeran dengan jabatan tinggi di Kesultanan Jambi. Sumber: Gallop, 2009

Kata Slamet Muljana "kenyataan sejarah kadang terlalu pahit untuk ditelan". Namun demikian ia selalu menarik untuk diperbincangkan.  Kejadian-kejadian yang pernah terjadi di masa lampau kadang akan terulang kembali di masa kini dan masa mendatang meski oleh pelaku yang berbeda. Maka benarlah, sebuah lirik lagu yang beken di Malaysia "sejarah mungkin berulang".

Peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, jangan biarkan ia bersembunyi di balik catatan-catatan dan buku-buku usang. Tapi jadikan pelajaran masa kini guna membangun peradaban yang lebih baik. Namun sayangnya, masih banyak yang terlalu enggan. Komik-komik komedi atau novel-novel romantis tampak lebih disenangi banyak kalangan, dari kalangan bawah hingga elit politik.

Padahal leluhur kita telah meninggalkan pesan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa yang lalu-lalu. Orang Kerinci punya filsafat adat, "ngambeik tuah pado ngan menang, ngambeik cuntoh pado ngan sudah", artinya mengambil tuah/kepandaian dari para juara, mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi sebelumnya.

Kesultanan Jambi merupakan bagian kecil dari banyak negara yang pernah muncul dalam sejarah panjang kebudayaan Manusia. Kerajaan ini tumbuh dan berkembang pasca-kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Jambi menjadi salah satu kerajaan yang makmur dan masyhur di Sumatera pada masanya. Sayangnya kerajaan ini secara perlahan runtuh dan tak berbekas. Ia hanya dikenang di dalam banyak buku-buku sejarah. Kira-kira apa penyebab runtuhnya kerajaan ini?

Bagaimanapun juga negara yang makmur,  maju serta penguasanya yang adil akan minim  konflik di tengah rakyatnya. Penguasanya tak lagi memikirkan persoalan perut rakyatnya semata tetapi lebih dari itu yakni bagaimana memperluas wilayah kedaulatannya (melakukan invasi) dan bagaimana melepaskan diri dari kekuatan politik yang lebih besar.

Kesultanan Jambi pernah mengalami masa kejayaan itu di abad ke-17. Rajanya Sultan Abdul Jalil mendeklarasikan diri sebagai Sultan Agung. Ia melepaskan diri dari hagemoni Kesultanan Mataram di Jawa, membangun hubungan diplomatik dengan Banten bahkan pernah berusaha menaklukan Johor. Sayangnya, masa kejayaan itu hanya sebentar saja dinikmati. 

Merosotnya perdagangan lada serta belenggu hutang kerajaan yang ditumpuk oleh raja dan para pangeran merupakan salah satu penyebab carut marut perekonomian Kesultanan Jambi. Di tengah "lemaknya" bersekutu dengan VOC, kemudahan pinjaman yang diberikan, hadiah-hadiah langka dari berbagai penjuru dunia yang disuguhkan, para bangsawan Jambi tidak menyadari bahwa mereka sedang menggali lubang keruntuhan bagi negaranya sendiri.

Lama-kelamaan, para raja tak punya kekuatan lagi menghadapi tekanan VOC, mereka bak kerbau yang sedang ditindik hidungnya. Jikalau  bernyali sedikit menyanggah, maka rumah pembuangan di Batavia sudah menanti. Saking tak punya kekuatan politik dan ekonomi lagi, barang-barang regalia kerajaan satu persatu ikut dijual atau digadaikan ke pihak VOC, semisal Pedang Sri Mengala yang tak tentu lagi rimbanya sekarang.

Carut marut perekonomian itu diikuti oleh berbagai konflik yang melanda kerajaan yaitu konflik antarsuku di kawasan hulu Kerajaan Jambi dan konflik dengan negara tetangganya sendiri, Palembang. Akibatnya, raja-raja yang kurang cakap  memimpin berakhir dengan pemakzulan. 

Jambi sesungguhnya tidak menganut monarki absolut, jabatan raja bisa diberhentikan atas kesepakatan kerabat Kerajaan yang mewakili suku-suku yang bermukim di seluruh wilayah Jambi. Misalnya, Sultan Astra Ingalaga yang dimakzulkan pada tahun 1743. 

Sultan Astra dimakzulkan dengan menyandang status sebagai seorang Panembahan (pensiunan raja) dengan gelar Panembahan Kesuma Negara. Sebagai gantinya, kerabat kerajaan memilih adiknya yang bergelar Pangeran Suta Wijaya sebagai sultan berikutnya. Pangeran ini dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Ahmad Zainuddin atau dikenal pula dengan Sultan Anum Seri Ingalaga.

Di tangan Sultan Seri Ingalaga,  Jambi tertolong dari keruntuhan yang lebih awal.  Ia mulai menyadari bahwa persekutuan dengan VOC sama sekali tidak menguntungkan. Ia menganggap pinjaman VOC adalah penyakit yang terus merongrong perekonomian Jambi dan cara menghilangkan penyakit itu adalah dengan membunuh sumbernya. Oleh sebab itu, Sultan Anum tidak ingin memperbarui kontrak lagi dengan VOC. Di pagi buta, 20 Maret 1768 pasukan Sultan Anum menghancurkan loji-loji dagang VOC di Muara Kumpeh. Dengan demikian berakhirlah kontrak dagang Jambi-VOC yang telah berlangsung hampir seabad lebih.

Jambi benar-benar runtuh saat seluruh wilayahnya ditaklukan oleh negara kolonial Hindia-Belanda. Keraton kerajaan Jambi dibumihanguskan pada tahun 1850-an, Rajanya saat itu Sultan Thaha harus bergerilya ke pedalaman karena tidak mau tunduk kepada Hindia-Belanda. Perjuangannya berakhir pada tahun 1904, setelah gugur tertembak pasukan Belanda. Tidak lama kemudian, Belanda menghapus Kesultanan Jambi, bangsawannya dilucuti, barang-barang kerajaan kemudian disita dan  Jambi hanya menjadi wilayah kecil dari keresidenan Palembang.

Jikalau saja Jambi masih menjadi negara monarki hingga saat ini, tentulah rakyatnya masih makmur. Dengan wilayah yang jauh lebih luas dari Brunei, populasi yang sedikit dengan sumber daya alam yang melimpah, seperti kilang minyak di sekitar Tungkal dan Rawas, tambang batu bara, kebun sawit. Itu semua sudah memenuhi pundi-pundi kerajaan.

Referensi: Andaya, B. W. 2016. Hidup Bersaudara: Sumatra Tenggara Abad XVII-XVIII. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun