Kata Slamet Muljana "kenyataan sejarah kadang terlalu pahit untuk ditelan". Namun demikian ia selalu menarik untuk diperbincangkan. Â Kejadian-kejadian yang pernah terjadi di masa lampau kadang akan terulang kembali di masa kini dan masa mendatang meski oleh pelaku yang berbeda. Maka benarlah, sebuah lirik lagu yang beken di Malaysia "sejarah mungkin berulang".
Peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, jangan biarkan ia bersembunyi di balik catatan-catatan dan buku-buku usang. Tapi jadikan pelajaran masa kini guna membangun peradaban yang lebih baik. Namun sayangnya, masih banyak yang terlalu enggan. Komik-komik komedi atau novel-novel romantis tampak lebih disenangi banyak kalangan, dari kalangan bawah hingga elit politik.
Padahal leluhur kita telah meninggalkan pesan untuk mengambil pelajaran dari peristiwa yang lalu-lalu. Orang Kerinci punya filsafat adat, "ngambeik tuah pado ngan menang, ngambeik cuntoh pado ngan sudah", artinya mengambil tuah/kepandaian dari para juara, mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi sebelumnya.
Kesultanan Jambi merupakan bagian kecil dari banyak negara yang pernah muncul dalam sejarah panjang kebudayaan Manusia. Kerajaan ini tumbuh dan berkembang pasca-kejatuhan Malaka ke tangan Portugis. Jambi menjadi salah satu kerajaan yang makmur dan masyhur di Sumatera pada masanya. Sayangnya kerajaan ini secara perlahan runtuh dan tak berbekas. Ia hanya dikenang di dalam banyak buku-buku sejarah. Kira-kira apa penyebab runtuhnya kerajaan ini?
Bagaimanapun juga negara yang makmur,  maju serta penguasanya yang adil akan minim  konflik di tengah rakyatnya. Penguasanya tak lagi memikirkan persoalan perut rakyatnya semata tetapi lebih dari itu yakni bagaimana memperluas wilayah kedaulatannya (melakukan invasi) dan bagaimana melepaskan diri dari kekuatan politik yang lebih besar.
Kesultanan Jambi pernah mengalami masa kejayaan itu di abad ke-17. Rajanya Sultan Abdul Jalil mendeklarasikan diri sebagai Sultan Agung. Ia melepaskan diri dari hagemoni Kesultanan Mataram di Jawa, membangun hubungan diplomatik dengan Banten bahkan pernah berusaha menaklukan Johor. Sayangnya, masa kejayaan itu hanya sebentar saja dinikmati.Â
Merosotnya perdagangan lada serta belenggu hutang kerajaan yang ditumpuk oleh raja dan para pangeran merupakan salah satu penyebab carut marut perekonomian Kesultanan Jambi. Di tengah "lemaknya" bersekutu dengan VOC, kemudahan pinjaman yang diberikan, hadiah-hadiah langka dari berbagai penjuru dunia yang disuguhkan, para bangsawan Jambi tidak menyadari bahwa mereka sedang menggali lubang keruntuhan bagi negaranya sendiri.
Lama-kelamaan, para raja tak punya kekuatan lagi menghadapi tekanan VOC, mereka bak kerbau yang sedang ditindik hidungnya. Jikalau  bernyali sedikit menyanggah, maka rumah pembuangan di Batavia sudah menanti. Saking tak punya kekuatan politik dan ekonomi lagi, barang-barang regalia kerajaan satu persatu ikut dijual atau digadaikan ke pihak VOC, semisal Pedang Sri Mengala yang tak tentu lagi rimbanya sekarang.
Carut marut perekonomian itu diikuti oleh berbagai konflik yang melanda kerajaan yaitu konflik antarsuku di kawasan hulu Kerajaan Jambi dan konflik dengan negara tetangganya sendiri, Palembang. Akibatnya, raja-raja yang kurang cakap  memimpin berakhir dengan pemakzulan.Â
Jambi sesungguhnya tidak menganut monarki absolut, jabatan raja bisa diberhentikan atas kesepakatan kerabat Kerajaan yang mewakili suku-suku yang bermukim di seluruh wilayah Jambi. Misalnya, Sultan Astra Ingalaga yang dimakzulkan pada tahun 1743.Â