Konsep yang secara luas dikenal sebagai "demokrasi" sesungguhnya telah dimiliki oleh etnis-etnis yang ada di Indonesia seperti masyarakat adat Kerinci, jauh sebelum diperkenalkan oleh orang Barat. Sejak masa lalu, orang Kerinci telah mengenal sistem "memilih" pemimpin yang mengatur suku dan menjalankan hukum-hukum adat.Â
Pemimpin dalam bahasa lokal disebut sebagai Pangulu, berasal dari kata ulu atau hulu yang berarti kepala. Pangulu sendiri terbagi menjadi 3 strata yang disebut sebagai sko nan tigo takah. Urutan tingkatan Pangulu dari yang tertinggi hingga yang terendah adalah Dipati atau Depati, (Par)menti-Ninek Mamak dan Anak Jantan-Tiganai Umah.Â
Setiap anggota suku/klan yang laki-laki secara otomatis telah menjadi anak jantan-Tiganai Umah setelah memasuki usia dewasa, tetapi pengaruhnya sangat terbatas yakni pada lingkup saudara perempuan atau anak-anak dari saudara perempuan mereka dalam suatu keluarga inti.
Menti-Ninek Mamak pengaruhnya sedikit lebih besar di mana lingkup kekuasaan mereka tidak hanya satu keluarga inti tetapi gabungan dari beberapa keluarga inti yang berasal dari satu nenek atau buyut perempuan.
Gabungan beberapa keluarga inti ini lazim disebut dengan istilah bungkan, kalbu, juray atau suku. Kekuasaan yang paling tinggi dipegang oleh para Depati/Dipati, lingkup kekuasaan mereka terdiri dari beberapa suku, bungkan, kalbu atau juray yang berasal dari satu leluhur perempuan. Gabungan beberapa suku, bungkan atau kalbu ini disebut dengan istilah luhah.
Luhah- luhah kemudian membentuk suatu pemukiman yang disebut dengan istilah dusun. Di tingkat dusun, kekuasaan Depati sesungguhnya juga dibatasi karena mereka hanya punya hak untuk mengatur luhah masing-masing dan tidak diperkenankan untuk mengatur luhah yang lain.
Pengaturan dusun didasarkan pada musyawarah dan kesepakatan para Dipati yang mewakili masing-masing luhah. Masing-masing Depati sebagai wakil dari tiap luhah juga membidangi masalah tertentu di tingkat dusun.
Ada Dipati yang secara khusus diberikan kekuasaan eksekutif (menegakkan hukum dan undang-undang adat), ada Dipati yang secara khusus diberikan kekuasaan menangani masalah agraria, konflik tanah dan batas wilayah adat, ada Dipati yang secara khusus menangani masalah keagamaan, perekonomian hingga hubungan diplomatik dengan wilayah adat atau kerajaan-kerajaan lain di sekitar mereka.
Berbeda dengan jabatan anak Jantan-Tiganai Umah yang diperoleh secara otomatis oleh anggota suku yang laki-laki, jabatan Menti-Ninek Mamak dan Dipati haruslah dipilih oleh anggota suku/klan lainnya, baik yang laki-laki (anak Jantan) maupun yang perempuan (anak Batino).
Berbeda dengan Demokrasi yang kita kenal saat ini, di mana keputusan didasarkan atas suara terbanyak, layak tidaknya calon yang dipilih untuk memangku jabatan penting ini justru ditentukan oleh para anggota suku/klan perempuan (anak batino) terutama kalangan anak batino yang telah berusia tua (disebut sebagai anak batino tuo). Mereka dianggap punya kekuatan spritual karena kedekatan mereka dengan para leluhur  dari alam lain.
Setelah anak Batino Tuo ini setuju dengan pilihan anggota suku, mereka kemudian mengundang para Depati dan Menti-Ninek Mamak yang lain untuk berkumpul di sebuah balai adat.
Para anak batino memakaikan baju kebesaran adat, mahkota atau sunting adat pada anakjantan yang mereka pilih kemudian diangkat sumpahnya oleh seorang Menti atau Depati yang lebih tua melalui prosesi pidato adat yang disebut "katubah rajo". Sebelum prosesi dimulai, gong dan beduk larangan (disebut taboh) sebagai penanda adanya prosesi "naik tahta".
Pewarisan dan pengangkatan "pemimpin" baru ini juga mengikuti skema yang disebut gilir-ganti. Artinya, masing-masing kalbu-kalbu mendapat hak yang sama untuk memegang jabatan Dipati di dalam luhah mereka.
Misalnya, jabatan Dipati dalam suatu Luhah, dipegang oleh kalbu "A", saat pemangku jabatan tersebut mangkat atau tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya maka jabatan Dipati berikutnya haruslah diserahkan kepada kalbu "B" yang berada dalam satu luhah yang sama. Siklus perputaran pemimpin ini telah berlangsung selama ratusan tahun lamanya.
Demokrasi "ala" orang Kerinci ini tampaknya memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan demokrasi ala Barat yang kita kenal saat ini. Di Negara Majemuk seperti Indonesia, penentuan "pemenang" dengan sistem suara terbanyak justru tidak mengakomodir seluruh etnis. Telah menjadi keniscayaan bahwa etnis-etnis mayoritas yang memiliki jumlah populasi yang lebih tinggi, akan selalu memegang tampuk kekuasaan.
Suara etnis-etnis minoritas tak akan berpengaruh banyak bahkan tak punya andil dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Mau tidak mau mereka harus menerima dengan ikhlas untuk diatur dan dikuasai etnis lain. Bila mereka sedikit saja menyanggah, bukan tidak mungkin bernasib serupa dengan etnis Uyghur di Daratan Tiongkok sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H