Para anak batino memakaikan baju kebesaran adat, mahkota atau sunting adat pada anakjantan yang mereka pilih kemudian diangkat sumpahnya oleh seorang Menti atau Depati yang lebih tua melalui prosesi pidato adat yang disebut "katubah rajo". Sebelum prosesi dimulai, gong dan beduk larangan (disebut taboh) sebagai penanda adanya prosesi "naik tahta".
Pewarisan dan pengangkatan "pemimpin" baru ini juga mengikuti skema yang disebut gilir-ganti. Artinya, masing-masing kalbu-kalbu mendapat hak yang sama untuk memegang jabatan Dipati di dalam luhah mereka.
Misalnya, jabatan Dipati dalam suatu Luhah, dipegang oleh kalbu "A", saat pemangku jabatan tersebut mangkat atau tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya maka jabatan Dipati berikutnya haruslah diserahkan kepada kalbu "B" yang berada dalam satu luhah yang sama. Siklus perputaran pemimpin ini telah berlangsung selama ratusan tahun lamanya.
Demokrasi "ala" orang Kerinci ini tampaknya memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan demokrasi ala Barat yang kita kenal saat ini. Di Negara Majemuk seperti Indonesia, penentuan "pemenang" dengan sistem suara terbanyak justru tidak mengakomodir seluruh etnis. Telah menjadi keniscayaan bahwa etnis-etnis mayoritas yang memiliki jumlah populasi yang lebih tinggi, akan selalu memegang tampuk kekuasaan.
Suara etnis-etnis minoritas tak akan berpengaruh banyak bahkan tak punya andil dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Mau tidak mau mereka harus menerima dengan ikhlas untuk diatur dan dikuasai etnis lain. Bila mereka sedikit saja menyanggah, bukan tidak mungkin bernasib serupa dengan etnis Uyghur di Daratan Tiongkok sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H