Kota Solo atau Surakarta merupakan wilayah yang kaya tinggalan sejarah terutama dari masa Islam dan Kolonial. Wilayah ini pernah menjadi ibukota Kesultanan Mataram Islam setelah dipindahkan dari Kertasura. Kemudian karena konflik para elit di dalam istana, setelah perjanjian Giyanti kesultanan ini dibagi menjadi dua wilayah Kerajaan. Di sebelah Barat, merupakan wilayah bagi Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat dan di sebelah Timur merupakan wilayah Kasunanan Surakarta.Â
Tak lama setelah itu, wilayah Kasunanan Surakarta-pun terbagi pula setelah perjanjian Salatiga. Perjanjian ini mengakui berdirinya Kadipaten Mangkunegaran sebagai suatu wilayah otonomi tersendiri terlepas dari Kasunanan Surakarta. Oleh sebab itu, di Kota Solo dapat dijumpai dua keraton yakni Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran di samping tinggalan-tinggalan masa kolonial.
Kota ini pula yang membesarkan nama  Joko Widodo atau yang kerap dipanggil Jokowi, Presiden RI yang ketujuh. Sebagaimana diketahui, Jokowi pernah menjabat sebagai Walikota Solo sejak tahun 2005 hingga tahun 2012. Solo dibawah kepemimpinan Jokowi tergolong sukses.Â
Ia banyak menghasilkan terobosan baru dalam menata Kota Solo seperti pengadaan bus batik Solo-trans, penataan berbagai kawasan jalan dan pasar, relokasi pedagang kaki lima dan sebagainya. Tak ayal, ia terpilih kembali untuk periode kedua meskipun ia hanya menjalankan jabatannya selama dua tahun.
Namun siapa sangka, dibalik keberhasilan Jokowi ada sejumlah permasalahan yang ia tinggalkan Kota Solo sebelum "merantau" ke Jakarta. Permasalahan itu banyak yang tidak diketahui oleh khalayak, bahkan kurang mendapat respon. Padahal menurut hemat saya, persoalan ini cukup urgen dalam pembangunan dan penataan Kota Solo. Berikut beberapa persoalan yang berhasil dirangkum:
1. Konflik Taman Sriwedari
Taman Sriwedari merupakan salah satu ikon Kota Solo. Taman Sriwedari atau dikenal pula sebagai "Kebon Rojo" merupakan salah satu peninggalan Kasunanan Surakarta yang dibangun pada masa era Pakubuwono ke X sekitar tahun 1899 Masehi. Namun ternyata tinggalan penting ini menyimpan konflik yang berkepanjangan.Â
Selama periode walikota Jokowi, kasus ini kembali menguat setelah MA membatalkan hak pakai Pemkot Solo atas lahan Sriwedari dan statusnya dikembalikan ke negara pada tahun 2011 silam (lihat di sini).  Konflik antar kedua belah pihak ini menimbulkan ketidakjelasan status lahan sriwedari yang di dalamnya juga terdapat beberapa gedung cagar budaya. Akibatnya, kondisi taman sriwedari ini tidak terurus dan  sangat memprihatinkan.Â
Tak sempat mengurus permasalahan Taman Sriwedari karena Jokowi keburu hijrah ke Jakarta. Kini, masalah Taman Sriwedari kembali menggaung. Â Awal Januari misalnya, Pemkot Solo kembali mengklaim hak pakai atas lahan Sriwedari (lihat di sini). Bahkan, di bulan Februari Pemkot Solo telah meletakkan batu pertama pembangunan Masjid megah di Lahan Sriwedari sesuai dengan keinginan Jokowi sewaktu masih menjabat walikota, tak tanggung-tanggung proyek bernilai Rp. 161,5 miliar juga mendapat bantuan dana dari Jokowi (lihat di sini).
Pembangunan masjid ini justru mendapat penolakan dari berbagai pihak. Heri Priyatmoko misalnya, dalam tulisannya  berjudul "Geger Taman Sriwedari Solo" yang dimuat di Tirto (lihat di sini), menyatakan bahwa Taman Sriwedari dibangun oleh Pakubuwono X tujuannya sebagai taman hiburan bagi rakyatnya. Pakubuwono X sekaligus bergelar Sayidin Panatagama tidak menempatkan masjid atau langgar di dalam taman sriwedari untuk mencagah timbulnya ketegangan sosial.Â
Secara jelas, Pakubuwono memisahkan ruang yang berfungsi sebagai tempat hiburan yakni di taman sriwedari dan ruang untuk ibadah yaitu Masjid Gedhe di alun-alun utara sesuai dengan tata kota Kesultanan Islam di Tanah Jawa.
Konflik Sriwedari semakin ruwet, setelah November lalu PN Solo menerbitkan surat sita lahan sriwedari dari tangan Pemkot Solo (lihat di sini). Hal ini berarti pihak ahli  kerabat keraton Solo berhasil memenangkan sengketa. Sementara pemkot dan pihak ahli waris bersengketa, status pelestarian Taman Sriwedari ini semakin ngambang dan tidak jelas. Padahal ia merupakan salah satu cagar budaya yang patut dijaga kelestariannya.Â
Namun apa hendak dikata, pengadilan memutuskan sriwedari menjadi milik perseorangan yang berarti pula semakin menghambat upaya pelestarian kawasan ini ke depannya. Di sisi lain pemkot Solo saat ini, juga tidak melakukan pelestarian yang sesungguhnya, tetapi malah melakukan revitalisasi besar-besaran yang mengubah struktur asli tata ruang Kota Solo.
2. Permasalahan Benteng Vastenburg
Jika di Kota Yogyakarta terdapat Benteng Vredeburg, maka di Kota Solo terdapat Benteng Vastenburg. Namun, nasib kedua benteng ini sungguh berbeda.
Berbanding terbalik dengan nasib Benteng Vastenburg di Kota Solo. Benteng yang terletak hanya 100 meter dari balai kota ini kondisinya sangat tidak terawat. Kerusakan terdapat di sana sini. Bahkan ketika saya ke sana 2016 yang lalu, lapangan di dalam benteng ini dijadikan sebagai area "ngangon wedhus" oleh masyarakat. Pemkot Solopun hanya memanfaatkan lahan di depan gerbang benteng untuk festival-festival tertentu yang membutuhkan lapangan terbuka.
Permasalahan benteng Vastenburg sempat mencuat pada masa pemerintahan Jokowi antara tahun 2009-2012. Soalnya adalah pihak swasta yang memiliki hak kepemilikan atas lahan vastenburg ingin membangun hotel dan pusat perbelanjaan megah di sana (lihat di sini). Â
Memang pemkot Solo agak ketar-ketir "menyelamatkan" benteng ini dari tangan pihak swasta. Bahkan dulu ada wacana untuk menggabungkan konsep cagar budaya dan hotel di Bastenburg, meski mendapat penolakan mentah-mentah dari masyarakat.Â
Namun, permasalahan ini tidak terselesaikan di era Jokowi karena ia keburu pindah ke Jakarta. Dan kini, muncul lagi wacana "konyol" dari pemkot Solo. Meskipun pemkot Solo tidak memiliki hak atas lahan benteng, mereka memiliki hak pengelolaan atas bangunan benteng karena merupakan cagar budaya. Sayangnya, pemkot Solo tidak memikirkan upaya pelestarian malahan ingin menghiasi tembok berusia hampir 300 tahun itu dengan seni mural yang berkisah tentang perjuangan (lihat di sini).
3. Pemalsuan Koleksi Museum Radya Pustaka
Museum yang masih berada di kompleks taman sriwedari ini, sempat menyita perhatian publik di tahun 2007 dan 2011, saat Jokowi masih menjabat sebagai walikota Solo.
Beberapa arca yang asli koleksi Radya Pustaka ditemukan di rumah Hasjim Djojohadikusumo. Namun, Hasjim mendapatkan barang tersebut dari kolektor asing di luar negeri. Beliau punya misi untuk membawa kembali barang-barang kuno Indonesia yang dijual di pasar lelang luar negeri atau dimiliki kolektor asing meskipun harus merogoh kocek pribadi.
Sama seperti dua kasus lain di atas, kasus Museum Radya Pustaka tak terselesaikan pada masa Jokowi. Siapa dalang dibalik pemalsuan ini masih belum terungkap dan menjadi misteri.Â
4. Maraknya Penjual Sate Jamu di Trotoar Jalan
Di Solo, ada fakta menarik lainnya yaitu maraknya penjualan sate jamu di trotoar jalan-jalan utama. Sate Jamu atau sate gukguk adalah sate yang terbuat dari daging anjing. Olahan-olahan daging anjing ini dijual secara terbuka di beberapa sudut Kota Solo.
Terlepas dari larangan agama tertentu untuk mengonsumsi anjing, menjadi hak setiap oranglah untuk mengonsumsi makanan yang diinginkannya. Namun, Â lapak-lapak tersebut harus ditata agar tidak menganggu ketentraman umum.Â
Sementara komunitas pecinta anjing dan perlindungan hak hewan sangat menentang pengonsumsian dan penjualan daging anjing di Solo. Lapak-lapak sate jamu/gukguk tetap ramai dikunjungi tiap harinya.
***
Kita patut mengapresiasi keberhasilan pak Jokowi dalam membangun dan menata kembali Kota Solo selama menjabat walikota. Namun begitu, ada pula sejumlah permasalahan yang ditinggalkan untuk penerusnya sebagaimana paparan di atas. Hal-hal tersebut tidak terselesaikan karena Jokowi lebih memilih untuk mengejar karier politik di Jakarta dan siapa sangka beliau pada akhirnya berhasil menjadi orang nomor satu di Indonesia saat ini.
Permasalahan-permasalahan Solo yang tak terselesaikan oleh Jokowi selama ia menjabat adalah suatu kewajaran karena Jokowi juga hanya manusia biasa. Tak semua masalah sanggup ia tangani sendiri. Namun demikian, keberhasilan dan ketidakberhasilan kinerjanya selama menduduki jabatan perlulah diketahui oleh masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H