Pelaksanaan hukum islam terkait dengan penyelenggaraan jenazah harus sesuai dengan kaidah-kaidah fikih dalam hukum Islam seperti memandikan jenazah, mengkafani hingga penguburan. Sementara itu, setelah pemakaman usai ada tradisi  berdasarkan hukum adat yang harus dilaksanakan oleh para ahli waris. Salah satunya tradisi "mulang pinyanda" sebagai aplikasi dari hukum adat "mati pameman bagalang panakan, mati panakan bagalang pameman".
Lahir dari Budaya Matrilineal
Karena telah disinggung mengenai tradisi "mulang pinyanda", tak elok rasanya penulis tidak menjelaskan mengenai tradisi ini. Mulang pinyanda berasal dari dua kata yaitu kata mulang berasal dari kata memulangkan yang berarti mengembalikan. Sedangkan kata "pinyanda" berasal dari kata"persandaran" yang berarti tempat untuk bersandar atau topangan, sinonim dari kata "galang". Oleh sebab itu, secara harfiah mulang pinyanda diartikan sebagai mengembalikan topangan/sandaran.
Masyarakat Kerinci menganut sistem matrilineal yang kuat, mereka mengambil hubungan kekeluargaan berdasarkan garis keturunan dari pihak leluhur perempuan dan membentuk suatu kaum, disebut dengan istilah kalbu. Sistem ini menyebabkan hubungan antara pameman (saudara laki-laki dari ibu atau saudara perempuan dari payah) dengan para kemenakan lebih diutamakan secara adat.Â
Di samping itu pula, karena masyarakat Kerinci hidup berdasarkan kalbu, maka terdapat pula harta warisan nenek moyang milik kalbu (lahan sawah, ladang dan kebun) yang  dikelola oleh individu-individu sebagai anggota kalbu termasuk pula oleh sang pameman yang telah meninggal dunia.Â
Jikalau harta yang sifatnya milik personal "si mati" maka harta tersebut diwariskan kepada ahli waris (anak-anaknya), tetapi bila si mati pernah menggunakan harta milik bersama maka sang ahli waris  wajib melakukan pengembalian kepada orang yang masih terhitung keponakan orangtuanya dalam sebuah kalbu karena dianggap sebagai hutang yang mesti dibayarkan.
Pengembalian kepada para keponakan itu berupa sejumlah pembayaran yang diatur secara adat. Inilah yang dimaksud sebagai "mulang pinyanda". Mulang pinyanda terdiri dari sejumlah komponen pembayaran yaitu Bingku kapalo Kebau (bila diuangkan menjadi 500 rupiah hitungan uang lama atau 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang), ayam penahah batu, batang pinyanda (700 rupiah uang lama, 700 ribu rupiah hitungan uang sekarang), mangkuk pinggan/Kujo Kerih (500 rupiah hitungan uang lama, 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang), iku kapalok (500 rupiah uang lama, 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang).Â
Pembayaran ini dilakukan pada hari ke tujuh setelah kematian sang pameman. Tentu saja ada persyaratan untuk melakukan tradisi adat ini yakni bila sang pameman yang telah meninggal semasa hidupnya pernah melakukan ibadah kurban, hal ini mungkin menjadi indikator bahwa sang pameman, memiliki kemampuan ekonomi selama hidupnya.
Pada acara itu, mereka berkumpul kembali untuk mengenal anggota kalbu mereka satu sama lain yang sudah lama tak bertemu karena berbagai alasan. Tentu saja nilai kekeluargaan ini jauh lebih tinggi dari nilai uang yang harus dibayarkan, misalnya saja para ahli waris membayar pinyanda dengan jumlah total Rp 1.750.000 kepada para kemenakannya, uang tersebut harus dibagi lagi oleh para kemenakannya.Â
Dalam suatu kasus, jumlah orang yang masih terhitung kemenakan dari si mati dalam suatu kalbu bisa mencapai 300 ratus orang, yang bila uang pinyanda dibagikan, masing-masing hanya mendapatkan Rp. 5000/orang.Â