Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Nasi Manih, Kuliner Sederhana Sarat Makna dari Kerinci

9 Mei 2018   10:09 Diperbarui: 21 April 2022   23:59 2867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memasak kuliner nasi manih. Dok. Hafiful Hadi, 2018

Sajian Peringatan Kematian

Kematian adalah momen duka cita, di mana seseorang mengungkapkan rasa kesedihannya karena ditinggal oleh orang-orang terkasih. Kematian juga melahirkan tradisi-tradisi yang berkaitan dengan peringatan kematian tersebut.

Di Indonesia ada banyak tradisi untuk memperingati kematian . Tradisi paling umum adalah  peringatan 3 hari, 7 hari hingga 40 hari kematian. Di Tanah Toraja ada tradisi yang dinamakan rambu solo. 

Di Hulu Lembah Kerinci, Dataran Tinggi Jambi, tepatnya di sekitar kecamatan Siulak dan kecamatan Siulak Mukai ada tradisi yang unik dalam peringatan 7 hari kematian seseorang. Mereka menyajikan kuliner tradisional yang hanya ada dalam upacara itu, kuliner tersebut dinamakan sebagai nasi manih.

Nasi manih terbuat dari komponen-komponen yang sangat sederhana. Tiga komponen utama adalah pulut putih (ketan putih) yang sudah ditanak (nasi ketan), santan kelapa dan gula tebu merah. Selain itu terdapat pula tambahan garam, daun pandan wangi, daun cengkeh dan kayu manis sebagai penyedap rasa. 

Cara membuatnya pun sangat sederhana, santan kelapa, gula merah serta daun-daunan penyedap dimasukkan dalam kancah (kuali besar) yang telah dijerang di atas api. Setelah, santan kelapanya mendidih dan gula merah larut, barulah nasi ketan dimasukkan dan diaduk hingga merata sampai larutan gula merah dan santan benar-benar menyatu di dalam nasi ketan. 

Setelah itu, nasi manih yang telah masak diangkat dan diratakan (bahasa setempat: digacah) di atas talam  (nampan berukuran besar). Setelah mendingin barulah nasi manih, dipotong dalam sayatan jajaran  genjang dan disajikan kepada kaum kerabat yang hadir. 

Proses memasak nasi manih khas Kerinci. Dok. Penulis, 2018
Proses memasak nasi manih khas Kerinci. Dok. Penulis, 2018
Simbol Pengikat Tali Persaudaraan

Kematian memang menyebabkan hubungan sosial si mati dengan kaum kerabatnya terputus. Tapi tidak begitu bagi masyarakat Kerinci, kematian justru menjadi momen mempererat kembali hubungan antar kerabat dan sanak keluarga yang ditinggalkan. 

Rasa gurih dan manis yang dihasilkan oleh nasi manih, semanis hubungan keluarga yang dipererat kembali melalui momen upacara kematian. Dua Komponen nasi manih yaitu santan dan pulut putih yang memiliiki warna putih yang merupakan simbol dari hukum s'rak (hukum islam) dan keikhlasan melepas kepergian si mati, sementara gula  yang berwarna coklat kehitam-hitaman  sekaligus memberi warna "hitam" pada si pulut putih merupakan simbol dari hukum adat yang digunakan oleh masyarakat Kerinci dan persatuan kerabat yang ditinggalkan. 

Dalam upacara kematian pada masyarakat adat di hulu Lembah Kerinci, ada dua komponen hukum yang harus dilakukan yakni hukum Islam dan hukum adat. 

Pelaksanaan hukum islam terkait dengan penyelenggaraan jenazah harus sesuai dengan kaidah-kaidah fikih dalam hukum Islam seperti memandikan jenazah, mengkafani hingga penguburan. Sementara itu, setelah pemakaman usai ada tradisi  berdasarkan hukum adat yang harus dilaksanakan oleh para ahli waris. Salah satunya tradisi "mulang pinyanda" sebagai aplikasi dari hukum adat "mati pameman bagalang panakan, mati panakan bagalang pameman".

Lahir dari Budaya Matrilineal

Karena telah disinggung mengenai tradisi "mulang pinyanda", tak elok rasanya penulis tidak menjelaskan mengenai tradisi ini. Mulang pinyanda berasal dari dua kata yaitu kata mulang berasal dari kata memulangkan yang berarti mengembalikan. Sedangkan kata "pinyanda" berasal dari kata"persandaran" yang berarti tempat untuk bersandar atau topangan, sinonim dari kata "galang". Oleh sebab itu, secara harfiah mulang pinyanda diartikan sebagai mengembalikan topangan/sandaran.

Masyarakat Kerinci menganut sistem matrilineal yang kuat, mereka mengambil hubungan kekeluargaan berdasarkan garis keturunan dari pihak leluhur perempuan dan membentuk suatu kaum, disebut dengan istilah kalbu. Sistem ini menyebabkan hubungan antara pameman (saudara laki-laki dari ibu atau saudara perempuan dari payah) dengan para kemenakan lebih diutamakan secara adat. 

Di samping itu pula, karena masyarakat Kerinci hidup berdasarkan kalbu, maka terdapat pula harta warisan nenek moyang milik kalbu (lahan sawah, ladang dan kebun) yang  dikelola oleh individu-individu sebagai anggota kalbu termasuk pula oleh sang pameman yang telah meninggal dunia. 

Jikalau harta yang sifatnya milik personal "si mati" maka harta tersebut diwariskan kepada ahli waris (anak-anaknya), tetapi bila si mati pernah menggunakan harta milik bersama maka sang ahli waris  wajib melakukan pengembalian kepada orang yang masih terhitung keponakan orangtuanya dalam sebuah kalbu karena dianggap sebagai hutang yang mesti dibayarkan.

Pengembalian kepada para keponakan itu berupa sejumlah pembayaran yang diatur secara adat. Inilah yang dimaksud sebagai "mulang pinyanda". Mulang pinyanda terdiri dari sejumlah komponen pembayaran yaitu Bingku kapalo Kebau (bila diuangkan menjadi 500 rupiah hitungan uang lama atau 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang), ayam penahah batu, batang pinyanda (700 rupiah uang lama, 700 ribu rupiah hitungan uang sekarang), mangkuk pinggan/Kujo Kerih (500 rupiah hitungan uang lama, 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang), iku kapalok (500 rupiah uang lama, 500 ribu rupiah hitungan uang sekarang). 

Pembayaran ini dilakukan pada hari ke tujuh setelah kematian sang pameman. Tentu saja ada persyaratan untuk melakukan tradisi adat ini yakni bila sang pameman yang telah meninggal semasa hidupnya pernah melakukan ibadah kurban, hal ini mungkin menjadi indikator bahwa sang pameman, memiliki kemampuan ekonomi selama hidupnya.

(Foto atas) para kemenakan sedang berkumpul (foto bawah) tradisi mulang pinyanda yang sedang berlangsung. Dok. Hafiful Hadi, 2018
(Foto atas) para kemenakan sedang berkumpul (foto bawah) tradisi mulang pinyanda yang sedang berlangsung. Dok. Hafiful Hadi, 2018
Pada hakikatnya tradisi mulang pinyanda ini adalah penyatuan kembali hubungan kekeluargaan antara ahli waris sang pameman dengan para kemenakannya dalam sebuah kalbu yang hadir dalam acara itu.  

Pada acara itu, mereka berkumpul kembali untuk mengenal anggota kalbu mereka satu sama lain yang sudah lama tak bertemu karena berbagai alasan. Tentu saja nilai kekeluargaan ini jauh lebih tinggi dari nilai uang yang harus dibayarkan, misalnya saja para ahli waris membayar pinyanda dengan jumlah total Rp 1.750.000 kepada para kemenakannya, uang tersebut harus dibagi lagi oleh para kemenakannya. 

Dalam suatu kasus, jumlah orang yang masih terhitung kemenakan dari si mati dalam suatu kalbu bisa mencapai 300 ratus orang, yang bila uang pinyanda dibagikan, masing-masing hanya mendapatkan Rp. 5000/orang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun