Permohonan tersebut dikabulkan oleh Tuhan, di mana Puti Lindung Bulan pada akhirnya memiliki putra yang berwujud dan berprilaku seperti tupai dan diberi nama Tupai Jenjang. Rajo Tuwo kemudian menolak sang putra dan mengusirnya dari rumah, bahkan menembakinya seperti menembak seekor tupai.Â
Kisah tupai jenjang sendiri bukanlah kisah berasal dari Kerinci. Kisah ini juga dikenal oleh masyarakat Minangkabau di Luhak Agam Sumatra Barat. Tetapi, dalam penyampaian atau tradisi mendongengnya murni merupakan tradisi khas orang Kerinci.Â
Kunun tupai jenjang pertama kali dituturkan oleh Sutan Aris di wilayah Lubuk Nagodang Siulak, Kerinci pada tahun 1950-an, kemudian diteruskan oleh Ibrahim dari desa Koto Rendah Siulak (umur 71 tahun pada tahun 2012, dan wafat tahun 2016).Â
Kini, tradisi kunun tupai jenjang hanya diteruskan oleh satu-satunya tukang kunun yang bernama Jafril (usia 65 tahun) dari dusun baru Siulak.Â
Namun kini, kunun tupai jenjang tak lagi diminati masyarakat. Tempatnya telah digantikan dengan hiburan kekinian seperti "organ tunggal" dan lain sebagainya. Hampir tak ada lagi yang mengundang Jafril mengisi acara kendurian. Begitu pula dengan generasi muda Kerinci saat ini, hampir tidak ada yang berminat mempelajari tradisi kunun, tuturnya.Â
Sedikit angin segar berhembus di tahun 2015 di mana teater tutur tupai jenjang ditetapkan oleh pemerintah sebagai warisan budaya tak benda dari Jambi. Namun demikian, penetapan tersebut tak hanya acara simbolis dan seremonial belaka.Â
Tetapi harus dibarengi tindakan nyata untuk menggalakkan tradisi bakunun agar mendapatkan tempatnya kembali di tengah masyarakat, sehingga tukang kunun mampu berekspresi kembali di dalam komunitasnya sendiri. Pemerintah juga harus mewadahi para tukang kunun dan seniman lokal tradisional sehingga ekspresi seninya tidak mati digilas gigi zaman.
Referensi:
Efendi, Leni, dkk, 2012. Tinjauan Sejarah dan Budaya yang Mempengaruhi Teater Tutur Tupai Jenjang Masyarakat Kerinci Jambi. Jurnal Seni ISI Padang Panjang.