Hampir setiap bangsa di dunia memiliki tradisi mendongeng, begitu pula dengan etnis-etnis yang ada di Indonesia, salah satunya etnis Kerinci yang bermukim di Dataran Tinggi Jambi.Â
Dongeng menurut KBBI didefinisikan sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Lebih lanjut dalam wikipedia disebutkan bahwa dongeng adalah bentuk sastra lama yang bercerita tentang suatu kejadian yang luar biasa yang penuh khayalan (fiksi) yang dianggap oleh masyarakat suatu hal yang tidak benar-benar terjadi. Selain itu, dongeng merupakan bentuk cerita tradisional atau cerita yang disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang.
Orang Kerinci menyebut dongeng dengan istilah "kunun" yang berasal dari kata "konon", artinya cerita atau kabar burung. Kegiatan mendongeng disebut dengan ba-kunun. Sedangkan pendongeng disebut dengan istilah tukang kunun.
Kunun di Kerinci , secara tradisional disampaikan melalui tradisi lisan dengan irama-irama tertentu seperti bernyanyi. Beberapa kunun diiringi oleh alat musik yang disebut dengan dap yakni semacam rebana khas Kerinci. Kadangkala tukang kunun juga melakukan-melakukan adegan tertentu serta memainkan peran sebagai tokoh yang diceritakan ketika bakunun. Oleh sebab itu, kunun yang di dalamnya pendongeng juga memainkan peran sebagai tokoh yang diceritakannya disebut  sebagai teater tutur tradisional.Â
Ada banyak sekali jenis kunun yang ada di Kerinci. Jenis kunun tersebut dibedakan berdasarkan isi cerita dan cara mendongengkannya. Kunun umumnya berisi kisah fabel yang bercerita tentang binatang yang berprilaku seperti manusia. Binatang-binatang yang sering diceritakan dalam kunun Kerinci adalah kancein (kancil), burung undan (pelikan) dan burung kuaw. Adalagi kunun tentang tokoh mitologi seperti jugei, seorang tokoh kocak yang suka berperang, dan tupai jenjang, seorang pangeran (anak raja) yang berwujud seekor tupai.
Laiknya sebuah tradisi, kunun disampaikan melalui lagu dengan irama-irama yang khas dan berbeda-beda tergantung isi dan latar cerita. Namun, ada beberapa kunun yang khas yaitu kunun jugei dan kunun tupai jenjang.Â
Pendongeng (tukang kunun) dalam kunun jugei dan tupai jenjang juga melakukan adegan dan memainkan peran tokoh-tokoh yang diceritakan dalam kununnya. Kunun tupai jenjang juga diiringi oleh alat musik yang disebut dengan dap, hal ini tidak dijumpai dalam kunun jugei.Â
Sayangnya, tradisi bakunun dalam masyarakat Kerinci sudah hampir punah. Hal ini mungkin disebabkan oleh perubahan prilaku dan pola pikir akibat perkembangan zaman saat ini. Kunun jugei misalnya, hampir tidak ditemukan lagi petuturnya, begitu pula dengan kunun tupai jenjang hanya tinggal satu atau dua orang saja tukang kunun yang mahir mendongengkannya.Â
Kasus kunun "Tupai Jenjang"
Kunun tupai jenjang berisi kisah seorang raja yang digelari Rajo Tuwo dan istrinya Puti Lindung Bulan yang sudah berusia tua tetapi belum dikarunai anak. Dalam keputusasaan mereka memohon kepada Tuhan agar diberikan keturunan walaupun hanya sebesar tupai.Â
Permohonan tersebut dikabulkan oleh Tuhan, di mana Puti Lindung Bulan pada akhirnya memiliki putra yang berwujud dan berprilaku seperti tupai dan diberi nama Tupai Jenjang. Rajo Tuwo kemudian menolak sang putra dan mengusirnya dari rumah, bahkan menembakinya seperti menembak seekor tupai.Â
Kisah tupai jenjang sendiri bukanlah kisah berasal dari Kerinci. Kisah ini juga dikenal oleh masyarakat Minangkabau di Luhak Agam Sumatra Barat. Tetapi, dalam penyampaian atau tradisi mendongengnya murni merupakan tradisi khas orang Kerinci.Â
Kunun tupai jenjang pertama kali dituturkan oleh Sutan Aris di wilayah Lubuk Nagodang Siulak, Kerinci pada tahun 1950-an, kemudian diteruskan oleh Ibrahim dari desa Koto Rendah Siulak (umur 71 tahun pada tahun 2012, dan wafat tahun 2016).Â
Kini, tradisi kunun tupai jenjang hanya diteruskan oleh satu-satunya tukang kunun yang bernama Jafril (usia 65 tahun) dari dusun baru Siulak.Â
Namun kini, kunun tupai jenjang tak lagi diminati masyarakat. Tempatnya telah digantikan dengan hiburan kekinian seperti "organ tunggal" dan lain sebagainya. Hampir tak ada lagi yang mengundang Jafril mengisi acara kendurian. Begitu pula dengan generasi muda Kerinci saat ini, hampir tidak ada yang berminat mempelajari tradisi kunun, tuturnya.Â
Sedikit angin segar berhembus di tahun 2015 di mana teater tutur tupai jenjang ditetapkan oleh pemerintah sebagai warisan budaya tak benda dari Jambi. Namun demikian, penetapan tersebut tak hanya acara simbolis dan seremonial belaka.Â
Tetapi harus dibarengi tindakan nyata untuk menggalakkan tradisi bakunun agar mendapatkan tempatnya kembali di tengah masyarakat, sehingga tukang kunun mampu berekspresi kembali di dalam komunitasnya sendiri. Pemerintah juga harus mewadahi para tukang kunun dan seniman lokal tradisional sehingga ekspresi seninya tidak mati digilas gigi zaman.
Referensi:
Efendi, Leni, dkk, 2012. Tinjauan Sejarah dan Budaya yang Mempengaruhi Teater Tutur Tupai Jenjang Masyarakat Kerinci Jambi. Jurnal Seni ISI Padang Panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H