Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beberapa Catatan Penting Mengenai Klaim Kepemilikan atas Gunung Kerinci (Tanggapan)

19 Februari 2018   20:58 Diperbarui: 20 Februari 2018   05:46 2759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sangat senang bahwa artikel saya sebelumnya yang berjudul "Menyikapi klaim kepemilikian Sumbar dan Jambi atas Gunung Kerinci" (lihat di sini) mendapat respon sekaligus kritik dari saudara Ghiovani Debrian dalam tulisannya "catatan saya atas artikel Hafiful Hadi " (lihat di sini). Bak kata pepatah "gayung bersambut, Andai Bertingkah, kata berjawab". Oleh sebab itu, melalui tulisan ini saya merespon sekaligus menjawab beberapa persoalan sebagaimana yang telah dilontarkan saudara Ghiovani Debrian.

Pertama, Ghiovani menyebutkan bahwa nama Gunung Kerinci dahulu kala bukan hanya Gunung Berapi tetapi Gunung Berapi Hilir, bahkan disajikan beberapa data hasil alihaksara naskah piagam kaum adat Kerinci oleh Voorhoeve (1941) dan alihaksara cap mohor Sultan Abdul Djalil. Namun, agaknya Ghiovani keliru dalam menginterpretasikan alihaksara teks naskah karena hanya dipenggal beberapa kata saja sehingga lepas dari konteks aslinya. Oleh sebab itu marilah kita tinjau alih aksara teks secara keseluruhan. 

Dalam naskah piagam Depati Mangku Bumi Tuo Suto Menggalo (TK 171)-- dalam hal ini Voorhoeve menyebutnya sebagai Soetan Nanggalo-- disebutkan bahwa "Sehingga kaki Gunung BerapiHilir, sehingga Tebing Tinggi Mudik dan sehelai kayu, seekor ikan, setitik air, sebatang laras ialah Depati mangku Bumi empunya segala" atau dalam naskah piagam lain (TK 173) yang berbunyi "bahwa ini surat cap celak piagam yang dijunjungkan oleh Seri Sultan Anum Suria Ingalaga serta Pangeran Temenggung Mangku Negara kepada Depati Raja Simpan Bumi, Dipati Intan, Dipati Mangku Bumi. Hilir sehingga Tebing Tinggi, mudik tersekut ke Gunung Berapi, ialah depati yang batiga punya, serta anak jantan anak betinonya, sebatang larisnya, setitik airnya, sekapan tanahnya, ialah depati yang batiga punya, Dipati Raja Simpan Gumi, Depati Intan, Depati Mangku Gumi. Itulah gedang yang bertiga berat sama2 dipikul, ringan sama2 dijinjing adanya"

Kata "hilir" dan kata "mudik" di Kerinci (bahkan di Sumatra) umumnya digunakan untuk menunjukkan arah menggantikan sistem mata angin. Hilir berarti arah muara sungai dan mudik menunjukkan arah hulu Sungai. Sehingga maksud "hilir" dan "mudik" ini berbeda-beda di setiap kawasan,tergantung di mana posisi atau titik pandang itu diambil dan sungai mana yang dijadikan sebagai acuan. 

Dari interpretasi saya, kata mudik dan hilir dalam naskah TK 171 sesungguhnya untuk menjelaskan bahwa wilayah Depati Mangku Bumi Suto Menggalo adalah dari kaki Gunung Berapi ke hilirnya (ke Selatan) dan dari Tebing Tinggi (nama tempat) ke arah mudiknya (ke arah Utara).

Gunung Berapi dan Tebing Tinggi menjadi dua lokasi yang menjadi titik awal perhitungan (tunggul baruan) ulayat.  Paralel dengan naskah TK 173 tetapi dengan diksi yang berbeda. Naskah TK 173  menunjukkan bahwa wilayah tiga orang Depati, mudik (arah ke hulu) 'tersekut' ke Gunung Berapi dan Hilir (arah ke hilir) hingga Tebing Tinggi.   Lebih lanjut bahwa arti kata 'tersekut' dalam naskah TK 173 ini merupakan bahasa Kerinci yang tidak ditemui dalam KBBI. "Sekut" dalam bahasa Kerinci diartikan sebagai mencakup atau melingkupi.

Arah Hilir dari Gunung Berapi
Arah Hilir dari Gunung Berapi
Sama halnya dengan alihaksara dari dua cap mohor yang terdapat di dalam katalog Dr. Annabel Teh Gallop no 661 dari Manuscript SOAS MS 40320111, f. 122 sebagaimana yang dimuat Giovani dalam tulisannya, "Sultan AbdulJalil yang [mempunyai] tahta kerajaan [negeri]Minangkabau mengaku anak kepada Sultan Abdul j.a.l.b.nyang punyai tahta kerajaan negeri jambi menyerahkan rakyathingga kaki Gunung Berapi hilir hulu dari Jambi mudik",atau dari stempel lain yang berbunyi 'Sultan Abdul Jalil yang mempunyai tahta kerajaan negeriMinangkabau yang mengurniai Paduka Anakda BagindaGelar Sultan MahmudSyah yang di alas tahta kerajaannegeri Johor menyerahkan segala anak Minangkabau hinggakaki Gunung Berapi hilir [sampai'] ke laut",bahwa maksud "Gunung Berapi Hilir" adalah Gunung Berapi ke arah hilir.

Singkatnya, kata "hilir" dari naskah-naskah ataupun cap mohor ini menunjukkan ke arah hilir dari gunung berapi bukan posisi gunungnya yang berada di hilir. Soalnya ialah Gunung Berapi (Kerinci) baik dilihat dari Solok Selatan (Acuan Sungai Batang Sangir) maupun Kerinci (acuan Hulu dari anak-anak sungai yang bermuara ke Batang Merao) tetap posisinya di Mudik (di hulu Sungai) bukan di hilir atau muara Sungai.

Lebih Lanjut, isi teks naskah piagam milik Depati-Depati yang ada di Siulak, Kerinci dengan teks dari dua Cap Mohor sangatlah berbeda. Naskah piagam secara tegas menyebutkan bahwa kekuasaan Depati Intan, Depati Mangku Bumi dan Depati Raja Simpan Bumi dan rakyatnya (diistilahkan dengan anak jantan-anak batinonya) meliputi segala sumber daya alam yang diistilahkan dengan "setitik air, sebatang laras, seekor ikan, sekepal tanah" yang berada dalam batas-batas wilayah sebagaimana bunyi naskah piagam (TK 173). Sedangkan, teks cap mohor hanya menyebutkan "menyerahkan segala anak Minangkabau" atau "menyerahkan rakyat"  yang berada di kawasan Gunung Berapi ke arah hilir.  bukan kekuasaan atas lahan, tanah, maupun sumber-sumber daya alam tetapi menyerahkan kekuasaan atas rakyat atau anak  Minangkabau kepada penguasa yang ditunjuk.

Sumber lain yang menegaskan bahwa nama Gunung Kerinci mulanya adalah Gunung Berapi tanpa embel-embel hilir adalah laporan dari kontrouler van Indrapura W.C. Hoogkamer tertanggal 31 Desember 1876 dalam Verhandelingen van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten En Wetenschappen. Deel XXXIX. 

Kedua, Giovani mempersoalkan tentang wilayah di Utara Gunung Kerinci yang hanya disebutkan Kerajaan Sungai Pagu padahal di Selatan Minangkabau terdapat wilayah lain seperti Rantau XII Koto dan Kerajaan Jambu Lipo. Untuk itu,marilah kita lihat masalah ini dari dua perspektif yaitu dari perspektif masyarakat Kerinci berdasarkan sumber naskah Tambo dan Naskah Piagam yang ada di Kerinci dan dari perspektif masyarakat Minangkabau bersumber pada naskah tambo yang ada di Rantau XII Koto ataupun dari  Kerajaan Sungai Pagu. 

Rantau XII Koto memang tidak familiar dalam telinga masyarakat adat Kerinci, sehingga batas-batas di Utara Wilayah Kerinci selalu disebutkan berwatas dengan Yang dipatuan Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah diam (berkedudukan) di Lekuk (lembah) Sungai Pagu, naskah TK 161 juga memuat gelar Yang Dipatuan Marajo Bungsu namun tidak menyebutkan tempat kediaman/kedudukannya.

Dalam beberapa sumber yang saya baca Rantau XII Koto adalah wilayah jajahan dari raja ke tiga  dalam periode awal Kerajaan Sungai Pagu yaitu Niniak Sutan Parendangan Bagumbak Putiah Bajangguik Merah yang berkedudukan di Koto Tuo (Alam Pauah duo) (lihat di sini atau di sini ). Namun berbeda dengan saat ini, gelar Yang Dipatuan Marajo Bungsu justru tidak digunakan lagi di Kerajaan Sungai Pagu melainkan di wilayah Rantau XII Koto. Sebagaimana diketahui Kerajaan Sungai Pagu saat ini dipimpin oleh Raja Nan IV yaitu Raja Alam Daulat Yang Dipertuan Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah, Raja Adat Yang Dipertuan Besar Tuanku Rajo Bagindo, Raja Ibadat Tuanku Rajo Batuah, dan Rajo Tigo Lareh Tuanku Rajo Malenggang (lihat di sini). 

Oleh sebab itu, mestilah ditelusuri kapan perjanjian batas wilayah antara Kerinci dan Sungai Pagu dibuat? apakah ketika raja yang bergelar YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah itu masih berkedudukan di wilayah Sungai Pagu atukah sudah berpindah kedudukannya di Rantau XII Koto (Lubuk Gadang)?Karena perjanjian batas wilayah ini merupakan bagian dari dinamika sejarah masa lalu di ke dua wilayah sehingga tidak bisa dilihat dari struktur adat/pemerintahan adat yang sekarang. Hemat saya, berdasarkan Tembo Kerinci perjanjian batas ulayat ini dibuat ketika YDP Marajo Bungsu Bagumbak Putih Bajanggut Merah masih berdiam/berkedudukan di Koto Tuo, Banuaran (Alam Pauah Duo). 

Bagi saya, persoalan di mana kedudukan YDP Marajo Bungsu dalam permasalahan pemilik Gunung Kerinci ini tidak begitu penting. Yang jadi soal adalah adakah Gunung Kerinci ataupun Gunung Berapi disebut-sebut dalam batas-batas wilayah adat mereka. Oleh sebab itu saya merujuk pada dua sumber pertama,naskah Tembo keluarga Yang Dipatuan Marajo Bungsu Rantau XII Koto yang dimuat dalam De talen en letterkunde van midden-sumatra, 1881 (p. 160) (atau lihat di sini). Awal naskah tersebut berbunyi: 

"Njinjiek nan moelo – moelo, nan mantjantjang melotie negori doewo bole koto, nan bagalaw njinjiek soetan bandoro nan turun dari bukik seguntang – guntang, duo jo niniek Rajo Putieh, mulo – mulo mandopek ka gunuang nilam ijau, turun ka bulai duo, dari bulai duo ka koto tuo, dari koto tuo ka pasimpai. Negori – negori nan dalam pegangan yang di patoean Marajo boengsu sainggan patadjin muaro sebo , sainggan tanjuang simalidoe. Namo negori dalam iko : Tanjuang, simalidoe, Padang Loweh, Poelai, Siguntua, Loebuak Boelang, Sikabaoe, Soengai Dore, Pulaoe Poenjuang, Soengai Kilangan, Soengai Kambuik, Loeboeak oelang Aling, Dusun Tangah, Si Topoes, Abai, Muaro Ikua, Bidar Alam, Lubuak Malako, Jopang, Sampu, Lubuak Godang, Pasimpai, Tanjuang Alam, Tanjuang Balik, Sungai Limau, Batu Angi, Batu Kungkuang, Koto Ubi, Koto Ilalang, Talau, Junjuang Siriah, Tarantang, Sungai Tabakaw" (Veth, 1881:160). 

(Nyiyiek yang mula-mula, yang mencencang melati(?) negeri Dua Belas Koto, yang bergelar Nyinyiek Sutan Bandaro yang turun dari Bukit Siguntang-Guntang, dua dengan niniek Rajo Putieh, mula-mula mendapat ke Gunung Nilam Hijau,turun ke Bulai Duo, dari Bulai Duo ke Koto Tuo, dari Koto Tuo ke Pasimpai. Negeri-Negeri yang dalam pegangan Yang Dipatuan Marajo Bungsu Sehingga Petajin Muaro Sebo, Sehingga Tanjung Simalidu.

Nama Negeri dalam ini, Tanjung Simalidu, Padang Loweh, Pulai, Siguntur, Lubuk Bulang, Sikabu, Sungai Dareh, Pulau Punjung, Sungai Kilangan, Sungai Kambut, Lubuk Ulang Aling, Dusun Tengah, Sitapus, Abai, Muara Ikur, Bidar Alam, Lubuk Malako, Jopang, Sampu, Lubuk Gadang, Pasimpai, Tanjung Alam, Tanjung Balik, Sungai Limau, Batu Angi, Batu Kangkung,Koto Ubi, Koto Ilalalang, Talu,Junjung Sirih, Tarantang Sungai Tabakau).

Yang kedua Dari Tambo Alam Surambi Sungai Pagu (lihat di sini) disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Sungai Pagu meliputi: Dari Balun Batu Ilie, lalu ke Languang dan Koto Baru, sampai ke Pauh Duo nan Batigo, Batang Marinteh Mudiak, lalu ke Sako Luhak Nan Tujuh, sampai ke Pesisir Banda nan Sepuluh, kalang Hulu Salido tumpuan Aie Haji (Dari Balun Batu ke hilir, terus ke Languang dan Koto Baru, sampai ke Pauah Duo nan Batigo, Batang Marinteh ke mudik, terus ke Sako Luhak nan Tujuh, sampai ke Pesisir Banda nan Sapuluah). 

Ke dua tambo ini, baik yang berasal dari Rantau XII Koto maupun Alam Surambi Sungai Pagu, sama sekali tidak memuat kata Gunu(a)ng Berapi atau Gunung Kerinci. Tetapi Ghiovani mengatakan bahwa  "Wilayah-wilayah Pematang Rantau yang dibawahi oleh Tantua Raja Sahilan sebagai Pucuk Pimpinan Tiang Panjang Nan Batujuah Rantau XII Kota membawahi jalur lama menghilir menuju Kerinci termasuk didalamnya tertumbuk ke Gunung Berapi hilir adalah genggaman Daulat Yang Dipertuan Maharaja Bungsu diam di Rantau XII Koto". Tentu saja ini adalah interpretasi pribadi Ghiovani tanpa sumber yang jelas. Soalnya kedua tambo sama sekali tidak menyebut Gunung Berapi. Apalagi dia mengatakan 'menghilir' menuju Kerinci, kira-kira sungai manakah yang bermuara ke wilayah Gunung Berapi (Gunung Kerinci)?

Sangat berbeda dengan kasus di wilayah Kerinci, pegangan atau wilayah kekuasaan Depatinya dilegitimasi oleh Raja/Sultan yang berkuasa. Naskah Piagam TK 173 misalnya disahkan oleh Sultan Anum Suria Ingalaga yang bertahta tahun 1742-1776 M di Kesultanan Jambi. Naskah piagam tidaklah sama dengan tembo yang kadangkala ditulis ulang atau hanya bersumber dari tutur lisan. 

Naskah piagam dapat dikatakan konteks isinya memiliki banyak kesamaan dengan prasasti-prasasti dari kerajaan masa Hindu-Budha, bedanya terletak pada kronologi, aksara dan media tulisnya saja. Kebanyakan prasasti ditulis pada batu ataupun lempengan logam  menggunakan aksara pallawa dan turunannya, sementara naskah piagam ditulis pada kertas menggunakan aksara arab melayu. Naskah piagam menyebutkan pertanggalan dikeluarkannya naskah tersebut, memuat gelar pejabat yang mengeluarkan, gelar pejabat yang menerima surat disertai dengan stempel raja/Sultan yang berkuasa. 

ketiga, Ghiovani mempersoalkan tentang istilah Puncak Indrapura. Memang dalam tulisan sebelumnya, agaknya saya tidak menggunakan diksi yang tepat sehingga menghasilkan pembacaan yang keliru. Saya mengatakan bahwa istilah Puncak Indrapura diganti dengan istilah Gunung Kerinci oleh Pihak Belanda, namun bukan berarti pula istilah 'Puncak Indrapura' tidak lagi digunakan selanjutnya (saya tidak pernah menyebut istilah puncak Indrapura tak lagi digunakan di masa selanjutnya), istilah Puncak Indrapura tetap digunakan bahkan hingga tahun 1922, namun sejak tahun 1933 penggunaan istilah Puncak Indrapura dan Gunung Berapi agaknya semakin berkurang karena nama Gunung Kerinci yang lebih dipopulerkan.

Keempat, ada empat pertanyaan Ghiovani tentang wilayah di kawasan Gunung Kerinci kepada saya. Namun secara singkat akan saya jawab bahwa Sepengatahuan saya, wilayah sehiliran Batang Sangir (Sebalik Gunung) bahkan sampai di Kubang Gajah banyak yang menjadi area perladangan dari masyarakat Kerinci, dan tentu saja wilayah ini melampaui posisi geografis dari Gunung Kerinci sendiri. Lagi pula, di kawasan di sebalik Gunung itu banyak yang dijadikan area transmigrasi.

Kelima, Ghiovani mempersoalkan pernyataan saya yang membawa nilai-nilai adat tentang masyarakat Minangkabau mengenai Gunung Kerinci. Dalam hal ini, saya sejatinya tidak mengkritisi tentang masalah pembukaan jalur baru atau pemberian nama apapun itu, tetapi mengkritisi 'laku dan perangai' dari pemkab tetangga. Kalau masalah prilaku tentu arahnya ke norma dan nilai-nilai budaya.

Status Gunung Kerinci saat ini, masih dipersoalkan posisi geografisnya walaupun jika dilihat dari Google maps, Gunung Kerinci dimiliki oleh dua wilayah administratif.

Di sisi lain,pengelolaan Gunung Kerinci berada di tangan TNKS sejak tahun 1996. Oleh sebab itu, jikalau nilai-nilai musyawarah masih dipegang teguh sesuai dengan adat Minangkabau maka alangkah baiknya dilakukan koordinasi, musyawarah dengan berbagai pihak seperti tokoh masyarakat,tokoh adat, antar pemkab yang masih bersangkut paut dengan Gunung Kerinci ini. Bukan malah mengambil keputusan sepihak saja, seolah-olah menguasai Gunung Kerinci seluruhnya.  Apalagi tapal batas antar kedua provinsi dan kabupaten ini masih menjadi polemik. 

Sayangnya, Ghiovani membawa-bawa latar belakang pendidikan saya dalam tulisannya. Padahal persoalan ini sama sekali tak terkait isu arkeologi, murni pendapat pribadi saya dari berbagai referensi yang telah saya baca. Hal ini sangatlah tidak etis dan sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai luhur masyarakat Timur.

Sebagai penutup, lagi-lagi Ghiovani menyebut Gunung Kerinci sebagai milik bersama antar wilayah adat tanpa sumber yang jelas. Data-data tembo yang diungkapkannya sama sekali tidak  menyebutkan Gunung Kerinci sebagai bagian dari wilayah dari Rantau XII Koto maupun Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu.

Referensi:

  • Veth, P.J.1881. Reizen En Onderzoekingen Der Sumatra-Expeditie, Uitgrust Door Het Aardrijkskundig Genootschap, 1877-1879,DerdeDeel Volksbeschrijving En Taal, Leiden, E.J. Brill.
  • Voorhoeve, P. 1941, Tambo Kerintji: Disalin dari Toelisan Djawa Koeno, Toelisan Rentjong dan Toelisan Melajoe jang Terdapat pada Tandoek Kerbau, Daoen Lontar, Boeloeh dan Kertas dan Koelit Kajoe, Poesaka Simpanan Orang Kerintji, P.Voorhoeve, dengan pertolongan R.Ng.Dr. Poerbatjaraka, toean H.Veldkamp, controleur B.B., njonja M.C.J. Voorhoeve, Bernelot Moens, goeroe A. Hamid. Lihat di sini
  • Tambo Sungai Pagu (lihat di sini atau di sini)
  • Tambo Rantau XII Koto (lihat di sini)
  • Tanggapan artikel Hafiful Hadi Oleh Giovani (lihat di sini)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun