Tak banyak memang penulis kompasiana (baca: Kompasianer) yang mengangkat isu-isu arkeologi (istilah lain: kepurbakalaan) dalam tulisannya. Namun, bukan berarti tema arkeologi tidak disukai oleh pembaca, bahkan beberapa artikel arkeologi yang saya telusuri di Kompasiana menunjukkan statistik mencapai puluh ribuan pembaca. Walaupun demikian, tema arkeologi masih belum mampu menyaingi artikel-artikel yang membahas isu-isu politik regional ataupun isu-isu humaniora lainnya di luar arkeologi seperti masalah "tetek bengek" hijab artis berinisial RN misalnya.Â
Arkeologi sememangnya bukan isu "sensasional" bagi masyarakat untuk dibicarakan apatah lagi untuk dipergunjingkan. Tetapi bukan berarti pula tidak menarik. Apalagi di tahun 2017 ini yang sangat banyak dibumbui berita-berita hoaks baik yang kita saksikan di layar kaca maupun yang kita simak di media sosial melalui berita-berita online.
Tulisan-tulisan arkeologi dan kesejarahan-pun tidak luput dari jaring hoaks tersebut sehingga sangat meresahkan dan bisa menyesatkan pembaca awam. Sisi baiknya adalah bumbu-bumbu hoaks ternyata mampu meningkatkan antusiasme dan merangsang keingintahuan masyarakat untuk menelusuri lebih jauh tema yang menyangkut masalah arkeologi maupun kesejarahan.
Menjelang tahun baru, saya berusaha mengkurasi artikel-artikel arkeologi yang ditulis sepanjang tahun ini di Kompasiana dan mendapatkan lima artikel terbaik menurut pandangan saya. Penilaian yang saya dilakukan dengan mempertimbangkan statistik pembacaan artikel, nilai artikel yang diberikan oleh pembaca serta yang tak kalah pentingnya adalah isu yang diangkat dalam tulisan terkait dengan isu terhangat arkeologi saat itu.Â
Berikut ini adalah lima artikel terbaik arkeologi sepanjang tahun 2017 menurut saya:
1. Candi Borobudur Pada 1814: Masih Tertutup Pepohonan dan Semak Belukar
Namun, demikian tak banyak masyarakat yang mengetahui sisi lain dari candi ini. Melalui artikelnya ini, Djulianto Susantio menyajikan sisi kesejarahan di balik penemuan kembali candi ini setelah hilang dari peradaban manusia ribuan tahun lamanya. Sebagaimana yang diulas oleh Susantio, penemuan kembali candi ini terjadi pada tahun 1814 M ketika Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffless berkuasa di Hindia-Belanda, berkat laporan dari masyarakat Raffles mengutus Cornelius ke sana untuk menindaklanjuti laporan tersebut.
Walhasil, diketahuilah adanya reruntuhan bangunan dari batu berukir yang ditutupi oleh pepohonan dan semak belukar. Lebih lanjut, Susantio memaparkan tentang upaya-upaya pendokumentasian dan pemugaran candi tersebut pada dekade-dekade berikutnya sehingga menjadi bangunan candi Borobudur yang kita saksikan sekarang. Artikel yang ditulis pada Oktober 2017 ini, telah dibaca sebanyak 10.453 kali, dengan nilai menarik dari 13 pembaca.
2. Berita "Hoax" dalam Arkeologi, dari Gunung Padang hingga Borobudur
Tak tanggung-tanggung, isu ini bahkan membuat pihak "istana negara" mengirim utusan khusus untuk meneliti masalah piramida tersebut dengan dana fantastis walaupun hasilnya tak pernah dipublikasikan hingga saat ini. Namun, sayangnya arkeolog menepis isu bahwa Gunung Padang sebagai piramida terbesar yang telah berusia puluh ribuan tahun menyaingi piramida di Mesir. Menurut arkeolog, susunan batu gunung padang merupakan columnar joint yang terbentuk secara alamiah melalui peristiwa geologis, jauh setelah itu, manusia kemudian memanfaatkan batuan-batuan columnar joint yang berada di permukaan Gunung Padang sebagai menhir dan tugu batu untuk keperluan religi seperti penyembahan terhadap arwah nenek moyang.Â
Jadi, sentuhan manusia terhadap gunung padang jauh lebih kemudian daripada pembentukan alamiah Gunung Padang itu sendiri. Kedua, isu tentang Borobudur sebagai Peninggalan Nabi Sulaiman oleh seseorang Matematikawan Al-qur'an(?) Buku-bukunya tentang Borobudur Nabi Sulaiman itu sangat laris di pasaran dan bahkan didukung oleh banyak simpatisan.Â
Arkeolog sangat menolak pandangan tersebut, soalnya sangatlah jelas Borobudur merupakan candi agama Budha terlihat dari arca dan relief-reliefnya yang sangat dipengaruhi gaya India. Selain itu, sebagaimana yang dipaparkan Susantio, inskripsi-inskripsi singkat yang ditemukan pada batuan candi pun berupa mantra-mantra Budhis. Artikel yang ditulis pada April 2017 ini, telah dibaca sebanyak 3345 kali oleh pembaca dan dinilai oleh 10 pembaca.Â
3. Tulisan pada Prasasti Kuno Terbaca Gajah Mada, Bukan Gaj Ahmada
Isu ini turut menarik perhatian Pak Susantio dan mendorongnya untuk menulis artikel yang menyajikan data arkeologis terkait dengan nama Gajah Mada itu. Melalui artikel tersebut, Susantio menyajikan tiga prasasti beraksara Jawa Kuno dari periode abad ke 14 M, yang kesemuanya secara terang benderang-sesuai dengan kaedah pembacaan aksara Jawa kuno -menuliskan nama "Gajah Mada", bukan "Gaj Ahmada". Artikel ini sangat menarik, karena mungkin satu-satunya artikel yang menyajikan data arkeologis untuk membantah nama Arab Gaj Ahmada itu. Tulisan ini telah dibaca sebanyak 2782 kali dan dinilai sebanyak 9 pembaca sejak dipublis pada Juni 2017.
4. Mau Diapakan Ribuan Naskah Kuno Kita?
Tulisan yang saya buat pada pada Oktober 2017 ini, berisi tentang laporan mengenai sebuah seminar Internasional pernaskahan Nusantara yang digelar pada September yang lalu. Seminar-seminar semacam ini kerapkali luput dari pemberitaan media massa sehingga jarang diketahui oleh masyarakat padahal seminar ini mengangkat topik yang menarik yaitu mengenai naskah-naskah kuno Nusantara dan peranannya dalam memperteguh kebhinnekaan.Â
Mungkin artikel ini menjadi satu-satunya yang mengupas beberapa materi yang disampaikan dalam seminar itu. Melalui artikel ini, saya mengangkat masalah-masalah yang dihadapi naskah kuno Nusantara, salah satu data arkeologis, seperti terkait pelestariannya, keberadaannya yang tersimpan di perpustakaan luar negeri hingga keberadaannya di tengah masyarakat awam yang terkadang membahayakan preservasinya kerena ketidaktahuan cara menanganinya.Â
Selain itu, artikel ini juga memaparkan kutipan menarik bahwa naskah kuno selayaknya tidak hanya dianggap pusaka tetapi sebagai pustaka karena di dalamnya berisi berbagai ilmu pengetahuan, seperti pengobatan tradisional, perhitungan astronomi dan sumber-sumber penting untuk menulis sejarah. Meskipun hanya dibaca sebanyak 2406 kali dan dinilai oleh enam orang pembaca, tetapi kontennya yang mengangkat masalah Seminar Internasional Pernaskahan Nusantara menjadikan artikel ini cukup menarik.
5. Menhir di Sumatera Barat: Nisan dari Masa Islam atau Menhir Prasejarah?
Hal menarik yang dipaparkan dalam artikel ini adalah kasus Situs Menhir Belubus yang mana setelah dilakukan ekskavasi di bawah menhir tersebut ternyata ditemukan rangka manusia yang dikuburkan menurut tata cara Islam. Hal ini menunjukkan bahwa menhir tersebut berfungsi sebagai nisan makam.Â
***
Sejauh pengamatan yang saya lakukan melalui kata kunci "arkeologi' di kolom pencarian kompasiana, hanya segelintir orang yang menulis tentang arkeologi. Pak Djulianto Susantio merupakan salah satu penulis yang telah menghasilkan tulisan-tulisan arkeologi terbaik sepanjang tahun ini. Saya juga menulis beberapa artikel bertema arkeologi walaupun hanya sedikit dan menarik lumayan banyak pembaca. Saya berharap, di tahun 2018 mendatang akan ada penulis-penulis lain yang menulis tentang arkeologi dan akan ada banyak isu arkeologi menarik lainnya yang diangkat melalui kolom kompasiana ini.Â
Selamat Tahun Baru 2018!