A. Komunikasi Manusia Sebagai Tindakan Konstitutif dan Politis
Komunikasi Profetik adalah upaya menjadikan tujuan kenabian yakni humanisasi liberasi dan transedensi menjadi prespektif atau paradigma dalam teori dan praktik komunikasi. Komunikasi sendiri telah disinggung oleh Qur'an semenjak penciptaan Adam. Komunikasi telah dilukiskan Qur'an mengenai penciptaan Nabi Adam melalui ayat 30 hingga 34 Q.S Al-Baqarah yang dapat dibaca sebagai tindakan komunikasi/mediasi manusia pertama. Dalam ayat ini mengajarkan bahwa tindakan komunikasi Adam (manusia) menyebut benda-benda di hadapan Malaikat dan Tuhan. haruslah dilihat sebagai 'tindakan menamai'. Â
Terdapat dua hal penting dalam konsep komunikasi sebagai 'tindakan menamai' ini:
- Pertama, menamai bersifat Konstitutif, berarti memiliki efek membentuk sesuatu. Artinya kemampuan menamai disebutkan adalah tindakan konstitutif, sebuah tindakan yang membentuk suatu paham tertentu.
- Kedua, menamai adalah upaya kategorisasi dan oleh karenanya politisi. Maksudnya, kegiatan 'mengatakan' atau 'membahaskan' adalah merepresentasikan sesuatu melalui wujud kata/bahasa, sementara kegiatan 'menamai' adalah merepresentasikan tapi juga memberi identitas pada objek yang dinamai. Dan identitas ini erat kaitannya dengan politik.
Dengan kata lain. ayat yang menjelaskan bahwa komunikasi haruslah dipandang sebagai tindakan politis atau kegiatan yang melibatkan kekuasaan. Komunikasi bukanlah kerja netral, melainkan selalu merupakan tindakan menamai yang mengatur objek komunikasi dalam tatanan hierarki. Artinya paradigma profetik digagas Kuntowijoyo sebagai adalah paradigma yang sadar kuasa. Ia adalah paradigma yang mendorong ilmu sosial untuk turut berperan serta melakukan transformasi sosial yang selalu terkait dengan masalah politis dan kekuasaan.
B. Mustadh'af sebagai Instrument Analitis.Â
Istilah mustadh'af adalah bentuk kata objek dari dha'afa, yang kemudian Ahmad Farhan menyimpulkan bahwa istilah mustadh'afun mengacu kepada kelompok yang lemah (inferior) yang terkahir akibat dari penindasan atau sikap arogansi dari kaum yang lebih kuat (superior).Â
Dhu'afa dan mustadh'af dibedakan kategorinya dalam Qur'an. Dhu'afa artinya adalah orang lemah yang penyebabnya adalah dari kondisi internal sementara mustadh'af  adalah orang lemah yang penyebab kelemahannya adalah karena dianggap lemah atau dijadikan lemah. Artinya faktor pembentuknya berasal dari luar diri seseorang, umumnya menurut Qur'an, karena kedzaliman atau kesombongan (istikbar).Â
Begitu pula komunikasi dengan prespektif profetik memilih istilah mustadh'af  untuk menekankan bahwa tujuan dari prespektif profetik adalah untuk mewujudkan keadilan, memihak pada mustadh'af. Pemilihan konsep mustadh'af  ini tidak dengan sendirinya mengeksekusi konsep dhu'afa, tapi semata untuk menekankan pembelaan pada keadilan dan dengan demikian memerlukan sebuh analisis sosial yang seksama.
C. Etikanormative Komunikasi Profetik
prinsip komunikasi menurut Qur'an dibahas di Indonesia pertama kalinya oleh Jalauddin Rakhmat (Rakhmat, 1991, pp. 76-87), pengajar Komunikasi Universitas Padjajaran sekaligus intelekutual Muslim. Dalam prinsip komunikasi ini juga memiliki "etika komunikasi profetik", prinsip-prinsip tersebut adalah qaulan sadiidan , qaudan baliighan, qaulan maysuraan, qaulan layyinan, qaulan kariiman, qaulan ma'ruufan (Syahputra, 2017, p.136).
Prinsip pertama adalah Qaulan sadiidan, qaulan sadiidan sendiri adalah prinsip yang berkaitan dengan kebenaran komunikasi yang dilakukan haruslah sesuai dengaan kriteria kebenaran