Mohon tunggu...
Hadenn
Hadenn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Football and Others

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Bukan Cuma Kemelaratan, Tetapi Juga "Badai Kelelahan" Dialami Gen-Z (2/2)

24 Juni 2024   09:45 Diperbarui: 24 Juni 2024   09:52 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maap Listrik Studio Mati (Youtube.com/Raditya Dika)

Kemiskinan, salah satu problem belum terselesaikan di negeri ini, bukti ketika Tapera menjadi satu fenomena bisa dibilang realitas harus diterima oleh semua, terlebih gen z.   Benar, karena ketidakmampuan generasi satu ini dalam membeli rumah pemerintah menerbitkan Tapera, berdasarkan logika ini secara tulus bisa dikatakan gen z miskin.

Kesejahteraan memang ada di mana-mana dalam gadget, tetapi sangat jauh dalam kehidupan sehari-hari generasi satu ini. Bukan cuma kesulitan membeli rumah, tetapi juga kesulitan persaingan mendapatkan pekerjaan menenggelamkan mereka. 

Dari sini kita akan mencoba mengupas masalah rumit ini secara detail, kita akan dengan senang berusaha mengerti kesulitan dialami gen z, mengapa mereka begitu terjerembap dalam lubang kemiskinan, lantas kenapa dialami kemiskinan begitu melelahkan.

Lebih jauh lagi, kami akan memberikan contoh bermacam hal lebih baik untuk dihindari dalam mencapai kesejahteraan. Memang benar tidak menjamin keberhasilan, tetapi bisa dipastikan memperbesar peluang menuju ke sana.

Quarter life crisis

Memang benar semua generasi mengalami "quarter life crisis", sebuah fenomena di mana seseorang pada usia 20-an belum memastikan akan mengambil jalan hidup seperti apa. Mereka dilanda keraguan terkait jalan karier di tengah bermacam pilihan tersedia.

Di saat sama generasi ini menginginkan pencapaian luar biasa semacam mobil sport, atau tempat tinggal di tepi pantai. Namun, mereka juga merasa semua impian tidak memungkinkan dengan situasi ekonomi saat ini.

Selain itu, isolasi soal juga menambah masalah dalam "quarter life crisis" generasi ini, mereka mungkin memiliki sejumlah teman, tetapi kesulitan mendapatkan "teman baik". Beberapa dari mereka bahkan bukan "teman baik" untuk teman mereka sendiri. 

Hal ini diperparah dengan perasaan berbeda dari lingkungan mereka tinggal, sikap semacam ini membuat mereka sulit diterima dalam sana. Di akhir, generasi ini mencari tempat pelarian di dunia online, mereka merasa lebih mudah bergaul di sana.

Tanpa keahlian

Kita semua tak bisa dibantah pernah merasa pintar, tetapi tidak merasa cukup untuk mengatasi suatu problem spesifik. Kalian cuma mengerti tentang semua teori, tetapi tidak dengan pengapilikasian dalam lapangan.

Benar, mungkin beberapa dari kita juga pernah merasa bisa karena membaca, tetapi realitas menunjukkan kalian kesulitan dalam mengingat hal-hal baru dipelajari. Ketersenjangan ini memang cukup tinggi, terlebih ketika kalian sendiri jarang belajar hal baru.

Hal ini bisa diselesaikan dengan mengikuti kursus, seminar, atau bahkan magang secara langsung terkait bidang ingin diincar. Benar, tidak ada cara lebih cepat untuk akrab, kecuali dengan bergaul langsung dengan industri.

Kecanduan teknologi

Pikirkan kapan terakhir kali kalian dengan sadar tidak membuka gadget selama 2 jam, mungkin hal ini pernah terjadi, tetapi tak bisa dipungkiri sulit ditemukan kapan. Hal ini merupakan salah satu gejala kecanduan teknologi. 

Momen di mana kita secara sadar merasa kesulitan untuk tidak terus-terusan terhubung dengan gadget kita, bahkan cuma sebatas mengecek jam. Dan, entah bagaimana hal ini mengantarkan kita menuju "doomscrolling" (terus-terusan scroll informasi random.

Pergi berkemah di tengah hutan, atau mendaki gunung, atau sebatas melakukan aktivitas fisik bisa dibilang cukup membantu dalam mengurangi ketergantungan teknologi. Lebih singkat lagi, bisa diatasi dengan lebih sering keluar dari rumah dan berolahraga.

Perkembangan teknologi

Kita semua mengerti terkait seberapa cepat teknologi melompat, hal ini selalu berhasil memangkas keribetan dan tak bisa dibantah telah membantu manusia. Meskipun, tak bisa dipungkiri dengan perkembangan secepat ini, sejumlah usaha dikerahkan dalam menjadi ahli di suatu bidang terancam tidak relevan.

Teori 10.000 jam menjadi ahli suatu bidang tak akan lagi dibeli, 10.000 jam cuma terlalu lama untuk bisa digantikan oleh perkembangan teknologi. 

Di samping itu, kemunculan Artificial Intelligence (AI), kecerdasan semacam ini tak bisa dipungkiri bisa mengerjakan pekerjaan lebih baik dari manusia. Sekarang, berdasarkan alasan macam apa kita harus belajar coding, jika hal ini bisa dikerjakan melalui perintah verbal dengan lebih murah dan sederhana.

Kecemasan antara komitmen dan keusangan tak terbantahkan telah menjadi satu problem tersendiri di tengah generasi ini, mereka merasa ingin menguasai sesuatu, tetapi selalu dihantui dengan kecepatan perubahan terhadap hal baru. 

Generasi dalam jebakan

Kita semua boleh jadi sudah mengenal istilah "generasi sandwich", di mana mereka terjebak dalam kebutuhan dua generasi, terlihat fenomena ini terus diturunkan dalam gen z. Mereka boleh jadi merasa tidak ingin menikah, atau tidak ingin memiliki anak, tetapi tetap terjebak dalam lubang sama. 

Generasi satu ini tidak menaruh usaha tertentu untuk selesaikan masalah, mereka juga dibatasi oleh sistem ekonomi mengekang. Benar, melalui bunga tinggi pinjaman pendidikan dan berbagai ketidakpastian ekonomi akhir-akhir ini tak bisa dipungkiri sudah cukup untuk membuat mereka takut memulai keluarga.

Secara keseluruhan, sebagai bagian dari gen z, kami merasa semua problem mengarungi generasi ini tak perlu dipikirkan terlalu pusing. Memang benar akan selalu ada kemelaratan, juga kelelahan dalam realitas, dan sudah menjadi tugas kita untuk memastikan diri sendiri tidak termasuk salah satu dari mereka. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun