Beberapa hari lalu, kita semua sempat dihebohkan dengan wacana program iuran wajib Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), satu kebijakan ditujukan untuk kalangan tertentu, tetapi begitu keras ditolak hingga dibicarakan oleh semua lapisan.
Sejujurnya, Tapera ini bisa dikatakan sebagai pengangkat salah satu problem terbandel dari generasi ini, kesulitan untuk mendapatkan hunian terjangkau. Benar, kalau kita mengamati hunian anak muda hari ini, mereka semakin menjauh dari tengah kota.
Karena itu, dibuat suatu keharusan untuk semua pekerja berpenghasilan minimum regional mengikuti iuran Tapera, di mana nanti dari simpanan wajib tersebut akan dikelola oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).
Program ini sangat mirip dengan milik Singapura, Central Provident Fund (CPF) di mana setiap pekerja dengan penghasilan lebih dari 50 dolar Singapura wajib berpartisipasi. Bisa dikatakan hampir semua warga mengikuti iuran CPF.Â
Singkatnya, dari hasil urunan tersebut, kini lebih dari 90 % warga memiliki hunian, dan harga rumah di sana jauh lebih stabil. Bukan cuma untuk hunian, urun dana ini juga bisa dicairkan sebagai asuransi kesehatan dan dana pensiun, sangat sarat akan manfaat.Â
Benar, di atas kertas tidak ada masalah terhadap kebijakan satu ini, lantas mengapa kebijakan ini heboh, terlihat sangat mustahil untuk diaplikasikan di negeri ini.Â
Tentu, terdapat beberapa perbedaan signifikan antara Indonesia dan Singapura yang sulit dijelaskan dengan tulisan, tetapi di lain sisi terdapat juga masalah jernih yang berasal dari negeri kita sendiri, di sini kita akan coba mengupas tuntas beberapa masalah ini.Â
Rumah sebagai investasi properti
Problem pertama hari ini adalah rumah seringkali dipandang sebagai investasi properti, ketimbang kebutuhan utama, terlebih untuk orang-orang yang mampu membeli rumah. Benar, mereka membeli rumah bukan karena butuh, tetapi karena ekspektasi harga rumah semakin tinggi.
Benar, harga rumah hari ini bisa dibilang lebih bergantung pada selera perusahaan konstruksi daripada kemampuan beli warga.
Isu ini semakin menjadi karena keabsenan pemerintah dalam menjaga harga rumah, kebijakan dikerjakan hari ini kerap mementingkan permintaan, bukan penggenjotan suplai rumah di pasaran.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!