Real Madrid kembali dimahkotai sebagai raja Eropa untuk ke-15 kali sepanjang sejarah, setelah memenangkan Final liga Champions di Wembley, London pada Minggu (02/06/2024).
Secara keseluruhan, glorifikasi (juara UCL) diperoleh oleh tim hari ini bisa dibilang cukup mengejutkan, mengingat pergerakan transfer Real Madrid musim ini kerap dinilai kurang matang, ditambah beberapa Legenda klub pergi secara tiba-tiba.Â
Menjelang laga Final kemarin, Manajer Madrid Don Carletto tidak berani sesumbar. "Final Liga Champions adalah laga paling penting sekaligus paling berbahaya. Itu seperti pedang bermata dua. Akan ada ketakutan, kekhawatiran, karena sudah dekat untuk memenangi hal terpenting dalam sepak bola," kata satu-satunya manajer pemenang lima trofi Liga Champions tersebut.
Carlo Ancelotti tetap menanggapi serius, meski bisa dibilang tengah jauh diunggulkan.
Benar, meski el Real tak bisa dipungkiri diunggulkan di atas kertas, tetapi sekali lagi tim ini berada dalam fase transisi, jauh berbeda dengan Borussia Dortmund, mereka sudah terbiasa dengan transisi, musim lalu kehilangan Erling Haaland, sementara musim ini kehilangan Jude Bellingham.Â
Di akhir, kita semua tahu pada laga Final pengalaman el Real berbicara lebih keras, mereka diserang secara konstan sepanjang paruh pertama, tetapi kembali keluar sebagai pemenang, mereka cuma butuh secuil peluang untuk menciptakan gol.
Harus diingat Real Madrid bukan cuma menjuarai liga Champions, tetapi juga juara La liga, Supercopa de Espana. Benar, sekali lagi mereka hampir melengkapi treble.
Semua glorifikasi tersebut, tak bisa dipungkiri terdapat peran signifikan dari Carlo Ancelotti di sana, terutama di laga Final kemarin, kala mereka diserang terus-terusan, semua tetap tenang, para pemain mengerti kesempatan akan segera datang, dan kala kesempatan tersebut datang, mereka akan berada di sana untuk memenangkan pertandingan.Â
Baca juga: Joan Laporta, Pemugaran Filosofi BarcelonaDi sini kita akan membahas tentang ini semua, jalan ditempuh oleh Don Carletto, julukan dari Carlo Ancelotti untuk mengubah Transisi el Real mencapai sebuah glorifikasi musim ini.
Tim transisiÂ
Kita semua tahu sebelum penutupan bursa transfer, secara tiba-tiba Karim Benzema hengkang dari klub untuk pergi ke Al-Ittihad, el Real harus kehilangan striker murni di menit-menit akhir jendela transfer.Â
Selain itu, el Real sempat ditimpa bencana. Kiper utama Real, Thibaut Courtois, cedera. Kiper timnas Belgia itu dikhawatirkan tidak bisa bermain hingga akhir musim akibat cedera lutut kiri. Beruntung, kita semua tahu Andriy Lunin berhasil step-up, menampilkan permainan konsisten sepanjang musim.Â
Sebelum itu, Real Madrid juga sekali lagi mengalami kegagalan dalam mendatangkan Kylian Mbappe, lubang besar lini serang tak bisa dipungkiri bermasalah di sini, mengingat Karim Benzema sudah pergi, dan tidak ada satu orang pun datang menggantikan.Â
Lantas, klub datang dengan nama alternatif, meminjam Joselu Mato dari Espanyol selama semusim dengan mahar tak lebih dari 3 juta euro.
Selain itu, Real Madrid juga kehilangan pemain sekaliber Marco Asensio di ruang ganti. Meskipun, performa gemilang Brahim Diaz sepanjang musim ini tak bisa dipungkiri sudah membuat Madridista melupakan hal tersebut.Â
Tidak berhenti di sana, el Real secara resmi mendatangkan dua talenta muda dunia, Arda Guler dan Jude Bellingham. Dua pemuda dengan latar berbeda, datang menuju klub terbesar dunia, sangat tidak adil untuk memberikan mereka tekanan terlalu besar di musim pertama, tetapi semua ini tak bisa dihindari sudah terjadi.
Benar, ketika kita melihat nama-nama pemain ini sekarang, semua terlihat sangat cerdas karena mereka semua berhasil memberikan kontribusi, tetapi ketika melihat nama-nama ini di hari pertama datang, sulit untuk mengatakan demikian.Â
Skema permainan
Setelah kita mengetahui benar ini tim transisi, lantas jalan seperti apa ditempuh Carlo Ancelotti untuk mengangkat performa tim menjadi Los Reyes de Europa.
Pertandingan di Eropa bisa dibilang tanpa hambatan, bahkan anak asuhan Don Carletto tidak mencatatkan satu pun kekalahan sepanjang gelaran liga Champions. Benar, mereka cuma ditahan imbang tiga kali, kontra Leipzig, Man City, dan Munchen.Â
Carlo Ancelotti merupakan individu paling sukses dalam sejarah liga Champions, beliau mencatatkan 7 gelar secara keseluruhan.Â
Selain itu, Real Madrid bermain luar biasa, terutama setelah mengalahkan Man City dalam adu penalti di Quarter Final, mereka memainkan pertandingan seolah sudah mengerti akan juara di akhir cerita.
Benar, tanpa bermaksud merendahkan Dortmund atau Munchen, tetapi Man City bisa dibilang hambatan terbesar dalam memenangkan si Kuping Besar, mereka bermain begitu mendominasi hingga dibutuhkan adu penalti untuk melengserkan tim ini dari kompetisi.
Dalam pertandingan paruh pertama di Bernabeu, kedua raksasa bermain luar biasa, saling serang sejak menit pertama. Pertandingan berakhir sama kuat, sama-sama berhasil mencetak tiga gol.Â
Paruh kedua di Etihad, Man City dengan sempurna mendominasi, tetapi Real Madrid berhasil mencuri keunggulan melalui Rodrygo, meski kemudian dibalas oleh Kevin de Bruyne. Kedua tim sama kuat hingga adu penalti, dan Andriy Lunin tampil sebagai pahlawan pada pertandingan kali ini, dua penyelamatan krusial melalui titik putih.Â
Dari semua narasi ini, kita semua mengerti Real Madrid tidak memiliki sistem jelas, mereka beradaptasi terhadap situasi, kemudian selalu bersedia mengambil kendali kala kesempatan terbuka datang. Real Madrid cenderung mendominasi ketika bisa, tetapi ketika tidak memungkinkan, mereka tidak memaksa bermain dengan bola.
Permainan seperti ini mungkin sederhana, tetapi sungguhan dibutuhkan para pemain tengah cerdas untuk mengerti momen, kapan harus bertahan dengan rapat, kapan harus transisi, juga kapan harus bermain mendominasi dengan bola.
Sebagai contoh, Jude Bellingham dalam pertandingan biasa akan bermain sebagai nomor 10 berada di belakang Vini Jr dan Rodrygo, tetapi kala tim diharuskan bertahan dia selalu bermain rapat dalam formasi 4-4-2 di sisi kiri, memberikan penjagaan ganda terhadap penyerang kanan lawan. Kemudian, Jude akan kembali sebagai nomor 10 dalam transisi, dia harus sangat cepat berada di sana sehingga skema penyerangan tidak terbuang sia-sia.Â
Terlepas dari semua, perubahan skema 4-4-2 menjadi 4-3--1-2 memang cuma transisi biasa, bukan pertama kali dalam dunia sepakbola. Akan tetapi, jalan ditempuh Carlo Ancelotti dalam membuat skema sederhana menjadi luar biasa tentu pantas diapresiasi, terlebih cara beliau dalam mengubah karakter tim.
Secara keseluruhan, jalan ditempuh Carlo Ancelotti dalam mengubah tim transisi mencapai glorifikasi patut diberikan apresiasi, beliau bukan cuma mengganti cara pemain bermain, tetapi juga jalan berpikir di atas lapangan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H