Sementara itu, manajer dengan gaya permainan Jerman bisa dibilang menjamur di permukaan, hampir semua manajer bercorak Jerman tengah panas di bursa manajer. Bahkan, beberapa manajer Spanyol seperti Xabi Alonso (Leverkusen) dan Miguel (Girona) lebih mengadopsi gaya tersebut dibandingkan dengan Belanda.
Setiap era selalu akan berakhir, dan mungkin hari ini cuma Pep Guardiola yang berhasil bermain di level tertinggi dengan sistem tiki-taka.Â
Sejujurnya, keputusan mengamankan Hansi Flick merupakan pilihan paling aman, mengingat sang juru taktik sudah matang, terbukti bisa mengubah tim secara keseluruhan selama mendapatkan dukungan penuh dari berbagai kalangan, termasuk manajemen klub.
Selain itu, kehadiran Hansi Flick di ruang ganti tak bisa dipungkiri akan secara cepat menggenjot perkembangan fisik para pemain, terutama pemain muda yang mendominasi materi tim, sama seperti Bayern Munchen 2019/20.
Namun, apakah perubahan fisik cukup untuk membuat pemain bisa bertahan dalam sistem permainan ala Hansi Flick?
Kesigapan memainkan intensitas tinggi
Semusim terakhir bersama Xavi Hernandez kita melihat Barca sebagai suatu tim pemalas, mereka bermain cuma mengandalkan serangan balik, tanpa kreativitas ketika mendapatkan kebebasan bermain bola, mungkin cuma Lamine Yamal satu-satunya pemain dengan nilai tambah ketika di atas lapangan.
Hal ini sangat berbeda dengan Bayern 2019/20, semua pemain bisa dibilang berlomba untuk tinggi-tinggian angka lari, mereka sangat aktif terutama ketika kehilangan bola.Â
Selain itu, tim super Munchen juga memiliki sistem permainan super detail, di mana setiap pemain berada pada ruang terbatas, tetapi selalu mendapatkan kesempatan untuk lolos dari penjagaan, mereka selalu menemukan celah di antara pertahanan.
Sekali lagi, hal ini sangat berbeda dengan Barcelona di mana kebebasan sungguhan diutamakan oleh Xavi Hernandez, setiap pemain dibiarkan maju selama terdapat pemain lain menutup celah di sana. Joao Cancelo misalnya, pemain satu ini lebih sering terlihat depan gawang dibandingkan dengan bertahan.
Satu sisi kita bisa melihat sebagai kebebasan berekspresi, tetapi di sisi lain juga berarti ketidakteraturan seorang pemain bertahan dalam menjalankan tugas.