Mungkin masih ingat di benak kita tentang kasus Prita. Kasus tersebut muncul akibat hubungan dokter-pasien yang salah diartikan sebagai hubungan penjual dan pembeli jasa.
Sudah banyak penulis yang menekankan bahwa hubungan dokter-pasien bukanlah hubungan penjual dan pembeli jasa. Masalah jual beli jasa cukup berakhir di meja administrasi rumah sakit saja, jangan dibawa ke meja dokter.
Hubungan dokter-pasien adalah hubungan teurapetik, simbiosis mutualisme, atas dasar trust dan pasien memiliki hak untuk memilih diantara opsi terapi yang ditawarkan.
Kenyataannya, Prita Mulyasari masih saja melengas-melengos setelah merasa sukses menggaungkan kasusnya (yang dianggapnya kesalahan Dokter) di Indonesia.
Namun apakah Prita sukses? Apakah warga negara kita mendapat manfaat atas kelakuan Prita (yang juga akibat ulahnya DPR berhasil mengundangkan UU ITE yang kini malah dianggap menjerat demokrasi)
Permasalahan pandemi covid-19 ini yang berkepanjangan mungkin juga terjadi atas dasar itu. Hubungan dokter-pasien yang masih dianggap sebagai penjual dan pembeli jasa bahkan sampai ke hadapan sang dokter, pikiran alam bawah sadar dokter.Â
Pasien menuntut diagnosis yang 100% tepat dan 100% terapi membuahkan hasil. Pasien menolak terapi yang ditawarkan malah memilih terapi yang tidak ada dasar ilmiahnya.Â
Ilmu kedokteran dibangun atas dasar prinsip dan perilaku ilmiah yang saling menghormati dan bertanggung jawab atas kemanusiaan.Â
Sekali lagi, hubungan dokter-pasien adalah hubungan teurapetik, simbiosis mutualisme, atas dasar trust dan pasien memiliki hak untuk memilih diantara opsi terapi yang ditawarkan (bukan terapi yang tidak ada dasar ilmiahnya, yang dipilih pasien sendiri tanpa anjuran dokter tersertifikasi).Â
Hubungan dokter-pasien adalah hubungan kerjasama dari kedua belah pihak untuk sama sama mengenyahkan penyakit dan mencegah keparahan.
Ibu Prita secara tidak sadar telah menanamkan kebudayaan yang bukan budaya kita. Budaya traksaksional antara dokter-pasien sebagai penjual dan pembeli jasa. Hubungan transaksional cukup urusan dengan rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan (administrasi klinik atau puskesmas) atau bahkan jauh dibelakangnya adalah dengan asuransi dan BPJS.
Saya tidak menuntut Ibu Prita bertanggung jawab untuk mengembalikan budaya masyarakat Indonesia yang sebelumnya sudah lestari. Tapi sebagai manusia yang berakal, seharusnya Ibu Prita sadar atas hal itu, bukan malah melengas-melengos.
Harapannya, dengan memahami hubungan dokter-pasien (ataupun pasien-dokter) yang ideal sehingga tidak terjadi lagi wanprestasi ataupun apapun yang merugikan kedua belah pihak. Bahkan lebih jauh lagi dalam hubungannya dengan pandemi, diharapkan kedua belah pihak bekerja sama dalam berpartisipasi mengeliminasi penyakit sebagai penyumbang pandemi.
Sumber bacaan lain:Â hafidhunalendra.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H