Mohon tunggu...
Hafidh Nugraha Ananto
Hafidh Nugraha Ananto Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Newbie dalam Dunia Penulisan. Menyukai topik Sejarah, Geopolitik dan Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ancaman Konflik Masa Depan di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

26 Desember 2024   04:41 Diperbarui: 26 Desember 2024   18:19 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
USS Coronado (Sumber: pacom.mil)

Ada sebuah novel bergenre techno thriller tentang Perang Dunia III yang cukup nyata, persuasif, menegangkan sekaligus menakutkan bagi awam seperti saya. Novel tersebut sempat menjadi rujukan Pak Prabowo dalam pidatonya yang sempat viral di tahun 2018 silam, diawal cerita novel tersebut mengisahkan telah terjadi sebuah krisis yang disebut sebagai krisis Dhahran yang terjadi di Arab Saudi yang mengakibatkan dinasti Al Saud runtuh berimbas pada kelangkaan dan instabilitas terhadap harga energi, hingga terdongkelnya Pemerintahan Partai Komunis RRT yang dianggap korup dan tidak mampu meredam kerusuhan buruh di kota-kota besar RRT, tergantikan oleh Pemerintahan Darurat Militer yang mereka sebut sebagai Direktorat, dimana para Kapitalis dan golongan Nasionalis berkolaborasi nan Teknokratik. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia?, Indonesia dalam buku tersebut telah dikuasai oleh Anarki, perairannya dikuasai oleh kelompok Perompak, terutama  Selat Malaka, keadaan tersebut terjadi setelah meletusnya Perang Timor Kedua, keadaan itulah yang pada akhirnya memaksa Direktorat dan US. Navy melakukan pengawalan/patroli gabungan dikawasan Selat Malaka, sampai-sampai penulis harus menyebutkan bahwa US. Navy mengandalkan USS Coronado yang bertipe Litoral Combat Ship (LCS) untuk melakukan tugas tersebut, mengingat Selat tersebut sebagai salah satu Choke Point dengan lalu-lintas tersibuk di dunia.

Novel tersebut berjudul Ghost Fleet, novel karangan August Cole dan Peter Warren Singer, sekalipun memang ada penafian diawal halaman yang menegaskan bahwa novel tersebut "hanyalah fiksi, bukan prediksi". 

Sampul Buku
Sampul Buku "Ghost Fleet" (Sumber: Gramedia)

Saya pikir ini bukan sekedar fiksi mengingat latar belakang penulis, bagi saya terlepas apa yang terjadi di internal pemerintahan negara-negara dunia ketiga yang penulis kisahkan, ini semacam mimpi buruk dan distopia, tentu saya tidak akan bercerita lebih banyak tentang Novel tersebut, karena saya yakin untuk kalangan tertentu seperti Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Hubungan Internasional, Strategist, Geopolitics dan Geostrategic Enthusiast pastilah sudah melahap novel tersebut, cuplikan novel tersebut mengingatkan kita betapa masifnya RRT membangun negaranya sampai menginspirasi penulis bagaimana mereka memainkan peran di kancah regional maupun internasional,  mereklamasi pulau-pulau buatan di kawasan Laut China Selatan yang seakan menegaskan kepemilikannya atas Laut China Selatan. 

Indonesia yang bukan negara pengeklaim, menjadi terlibat karena klaim mutlak Tiongkok mengingat Laut Natuna tercakup dalam klaim Nine Dash Line Tiongkok, jika kita melihat progres reklamasi, saya kira pesan Tiongkok sudah sangat jelas bahwa mereka siap dengan skenario terburuk "SI VIS PACEM PARABELLUM", sebagai catatan Armada ke Tujuh AS berpatroli di sepanjang rute perdagangan di seluruh Samudra Pasifik, selain itu sebagai tambahan, untuk apa belakangan dibentuk pakta pertahanan AUKUS?, lantas, sudah siapkah Indonesia?.

Anthony Albanese dari Australia, Presiden AS Joe Biden, dan Rishi Sunak dari Inggris di pangkalan angkatan laut San Diego (Sumber: Financial Times)
Anthony Albanese dari Australia, Presiden AS Joe Biden, dan Rishi Sunak dari Inggris di pangkalan angkatan laut San Diego (Sumber: Financial Times)

Awal Mula klaim Tiongkok 

Bermula dari klaim yang Tiongkok rilis melalui peta resmi buatan mereka pada era Pemerintahan Partai Nasionalis Kuomintang di tahun 1947, yang mana klaim tersebut disebut sebagai The Eleven Dash Line, klaim mencakup sebagian besar kawasan Perairan Laut China Selatan termasuk Pratas Island, Macclesfield Bank, Paracel dan Spratly Islands yang mereka dapatkan pasca Perang Dunia II dari Jepang. Di tahun 1949, Pemimpin Komunis Tiongkok Mao Zedong mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan menghapus cakupan yang meliputi Teluk Tonkin dan menyederhanakannya menjadi apa yang belakangan disebut sebagai The Nine Dash Line. Dan menyerukan landasan historis inilah yang RRT jadikan klaim atas Laut China Selatan.

Sengketa Laut China Selatan (Sumber: CSIS)
Sengketa Laut China Selatan (Sumber: CSIS)

Negara  Pengeklaim 

  • RRT
  • Taiwan
  • Vietnam
  • Brunei Darussalam 
  • Filipina 
  • Malaysia

Tiongkok mengeklaim Kepulauan Spratly dan Laut China Selatan sebagai wilayahnya bukan tanpa dasar. Bukti pertama berasal dari bukti arkeologis semasa Dinasti Han (206--220 Sebelum Masehi) yang menyebut telah menduduki wilayah Kepulauan Spratly (Nansha).

Selain itu berdasarkan catatan kapal laut Inggris yang menyebut Kepulauan Spratly (Nansha) dan Kepulauan Paracel (Xisha) telah ada di peta mereka sejak 1430. Nama Spratly diambil dari nama kapten kapal Inggris pada tahun 1867.

Klaim wilayah ini menjadi tumpang tindih berdasarkan perjanjian antara Tiongkok dan Perancis yang menguasai Indochina pada tahun 1887. Menurut perjanjian ini, Laut China Selatan termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel masuk ke dalam wilayah RRT. Namun, pada tahun 1933 Perancis secara resmi mengambil kepulauan tersebut untuk Vietnam.

Ancaman Kedaulatan terhadap Indonesia

Konflik Indonesia-RRT terpusat pada tercakupnya Laut Natuna dalam klaim Nine Dash Line. Bagi RRT, Laut Natuna sangat penting karena merupakan jalur pelayaran penting penghubung komunikasi Utara-Selatan, dan Timur-Barat. 

Menyikapi ancaman kedaulatan Republik Indonesia, khususnya di Laut China Selatan, Pemerintah RI merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diperbarui pada 14 Juli 2017. Pada peta ini Laut Natuna berganti nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU) .

Pengubahan nama sebagian ruang laut di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara diprotes Tiongkok melalui nota diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri Tiongkok kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dalam nota yang dikeluarkan tanggal 25 Agustus 2017 tersebut tertuang 3 butir sikap RRT yang salah satunya berisi penolakan terhadap nama Laut Natuna Utara.

Posisi Indonesia dalam sengketa LCS bukan pihak pengeklaim, tetapi beberapa kali ketegangan terjadi dengan Tiongkok dalam isu Laut Natuna Utara. Dikutip dari Kompas, 6 Juli 2020, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, "posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan sangat jelas dan berulang kali dinyatakan pada publik: di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih. Tak ada yang perlu dinegosiasikan dengan Beijing."

Tapi tetap, ingat pada pepatah latin "SI VIS PACEM PARABELLUM", Jika Kau Ingin Damai, Bersiaplah Untuk Berperang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun