Ada sebuah novel bergenre techno thriller tentang Perang Dunia III yang cukup nyata, persuasif, menegangkan sekaligus menakutkan bagi awam seperti saya. Novel tersebut sempat menjadi rujukan Pak Prabowo dalam pidatonya yang sempat viral di tahun 2018 silam, diawal cerita novel tersebut mengisahkan telah terjadi sebuah krisis yang disebut sebagai krisis Dhahran yang terjadi di Arab Saudi yang mengakibatkan dinasti Al Saud runtuh berimbas pada kelangkaan dan instabilitas terhadap harga energi, hingga terdongkelnya Pemerintahan Partai Komunis RRT yang dianggap korup dan tidak mampu meredam kerusuhan buruh di kota-kota besar RRT, tergantikan oleh Pemerintahan Darurat Militer yang mereka sebut sebagai Direktorat, dimana para Kapitalis dan golongan Nasionalis berkolaborasi nan Teknokratik.Â
Lalu bagaimana dengan Indonesia?, Indonesia dalam buku tersebut telah dikuasai oleh Anarki, perairannya dikuasai oleh kelompok Perompak, terutama  Selat Malaka, keadaan tersebut terjadi setelah meletusnya Perang Timor Kedua, keadaan itulah yang pada akhirnya memaksa Direktorat dan US. Navy melakukan pengawalan/patroli gabungan dikawasan Selat Malaka, sampai-sampai penulis harus menyebutkan bahwa US. Navy mengandalkan USS Coronado yang bertipe Litoral Combat Ship (LCS) untuk melakukan tugas tersebut, mengingat Selat tersebut sebagai salah satu Choke Point dengan lalu-lintas tersibuk di dunia.
Novel tersebut berjudul Ghost Fleet, novel karangan August Cole dan Peter Warren Singer, sekalipun memang ada penafian diawal halaman yang menegaskan bahwa novel tersebut "hanyalah fiksi, bukan prediksi".Â
Saya pikir ini bukan sekedar fiksi mengingat latar belakang penulis, bagi saya terlepas apa yang terjadi di internal pemerintahan negara-negara dunia ketiga yang penulis kisahkan, ini semacam mimpi buruk dan distopia, tentu saya tidak akan bercerita lebih banyak tentang Novel tersebut, karena saya yakin untuk kalangan tertentu seperti Mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Hubungan Internasional, Strategist, Geopolitics dan Geostrategic Enthusiast pastilah sudah melahap novel tersebut, cuplikan novel tersebut mengingatkan kita betapa masifnya RRT membangun negaranya sampai menginspirasi penulis bagaimana mereka memainkan peran di kancah regional maupun internasional, Â mereklamasi pulau-pulau buatan di kawasan Laut China Selatan yang seakan menegaskan kepemilikannya atas Laut China Selatan.Â
Indonesia yang bukan negara pengeklaim, menjadi terlibat karena klaim mutlak Tiongkok mengingat Laut Natuna tercakup dalam klaim Nine Dash Line Tiongkok, jika kita melihat progres reklamasi, saya kira pesan Tiongkok sudah sangat jelas bahwa mereka siap dengan skenario terburuk "SI VIS PACEM PARABELLUM", sebagai catatan Armada ke Tujuh AS berpatroli di sepanjang rute perdagangan di seluruh Samudra Pasifik, selain itu sebagai tambahan, untuk apa belakangan dibentuk pakta pertahanan AUKUS?, lantas, sudah siapkah Indonesia?.
Awal Mula klaim TiongkokÂ
Bermula dari klaim yang Tiongkok rilis melalui peta resmi buatan mereka pada era Pemerintahan Partai Nasionalis Kuomintang di tahun 1947, yang mana klaim tersebut disebut sebagai The Eleven Dash Line, klaim mencakup sebagian besar kawasan Perairan Laut China Selatan termasuk Pratas Island, Macclesfield Bank, Paracel dan Spratly Islands yang mereka dapatkan pasca Perang Dunia II dari Jepang. Di tahun 1949, Pemimpin Komunis Tiongkok Mao Zedong mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok dan menghapus cakupan yang meliputi Teluk Tonkin dan menyederhanakannya menjadi apa yang belakangan disebut sebagai The Nine Dash Line. Dan menyerukan landasan historis inilah yang RRT jadikan klaim atas Laut China Selatan.