Mohon tunggu...
Hafidh Nugraha Ananto
Hafidh Nugraha Ananto Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Newbie dalam Dunia Penulisan. Menyukai topik Sejarah, Geopolitik dan Hubungan Internasional.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Ancaman Konflik Masa Depan di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia

26 Desember 2024   04:41 Diperbarui: 26 Desember 2024   18:19 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sengketa Laut China Selatan (Sumber: CSIS)

Negara  Pengeklaim 

  • RRT
  • Taiwan
  • Vietnam
  • Brunei Darussalam 
  • Filipina 
  • Malaysia

Tiongkok mengeklaim Kepulauan Spratly dan Laut China Selatan sebagai wilayahnya bukan tanpa dasar. Bukti pertama berasal dari bukti arkeologis semasa Dinasti Han (206--220 Sebelum Masehi) yang menyebut telah menduduki wilayah Kepulauan Spratly (Nansha).

Selain itu berdasarkan catatan kapal laut Inggris yang menyebut Kepulauan Spratly (Nansha) dan Kepulauan Paracel (Xisha) telah ada di peta mereka sejak 1430. Nama Spratly diambil dari nama kapten kapal Inggris pada tahun 1867.

Klaim wilayah ini menjadi tumpang tindih berdasarkan perjanjian antara Tiongkok dan Perancis yang menguasai Indochina pada tahun 1887. Menurut perjanjian ini, Laut China Selatan termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel masuk ke dalam wilayah RRT. Namun, pada tahun 1933 Perancis secara resmi mengambil kepulauan tersebut untuk Vietnam.

Ancaman Kedaulatan terhadap Indonesia

Konflik Indonesia-RRT terpusat pada tercakupnya Laut Natuna dalam klaim Nine Dash Line. Bagi RRT, Laut Natuna sangat penting karena merupakan jalur pelayaran penting penghubung komunikasi Utara-Selatan, dan Timur-Barat. 

Menyikapi ancaman kedaulatan Republik Indonesia, khususnya di Laut China Selatan, Pemerintah RI merilis peta Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diperbarui pada 14 Juli 2017. Pada peta ini Laut Natuna berganti nama menjadi Laut Natuna Utara (LNU) .

Pengubahan nama sebagian ruang laut di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara diprotes Tiongkok melalui nota diplomatik yang dilayangkan Kementerian Luar Negeri Tiongkok kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing. Dalam nota yang dikeluarkan tanggal 25 Agustus 2017 tersebut tertuang 3 butir sikap RRT yang salah satunya berisi penolakan terhadap nama Laut Natuna Utara.

Posisi Indonesia dalam sengketa LCS bukan pihak pengeklaim, tetapi beberapa kali ketegangan terjadi dengan Tiongkok dalam isu Laut Natuna Utara. Dikutip dari Kompas, 6 Juli 2020, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, "posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan sangat jelas dan berulang kali dinyatakan pada publik: di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih. Tak ada yang perlu dinegosiasikan dengan Beijing."

Tapi tetap, ingat pada pepatah latin "SI VIS PACEM PARABELLUM", Jika Kau Ingin Damai, Bersiaplah Untuk Berperang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun