Mohon tunggu...
Hafidh Frian Perdana
Hafidh Frian Perdana Mohon Tunggu... -

Sekedar berbagi apa yang ada di pikiran ini, Semoga bermanfaat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Regenerasi Pendidikan sebagai Refleksi terhadap Pengajaran ala Ki Hajar Dewantara

2 Mei 2015   16:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14305587061133606095

Pendidikan adalah kunci peradaban. Buku adalah jendela pengetahuan. Sedangkan, pengetahuan adalah akar dari pemikiran. Kedalamannya diukur dengan pemahaman. Dan guru adalah penunjuk arahnya.


Begitulah permulaan paragraf tentang pentingnya pendidikan.

Yuk sejenak menyusuri lorong waktu bagaimana perjalanan seorang tokoh pendidikan Indonesia yang tanggal lahirnya bahkan dijadikan sebagai hari nasional.

Ki Hajar Dewantara, nama aslinya Raden Mas Soewardi, adalah orangnya. Hidup beliau didedikasikan untuk memperjuangkan pendidikan bagi rakyat Indonesia. Pada mulanya, beliau adalah jurnalis di beberapa surat kabar, seperti: Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara.

Beliau juga aktif dibidang sosial politik Budi Utomo. Kemudian bersama dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij. Dalam karirnya di Indische Partij, mereka menyerukan tentang nasionalisme dan pendidikan untuk pribumi.

Tulisannya yang berjudul Seandainya aku seorang belanda, membawanya ke negeri belanda untuk menjalani pengasingan. Disana bukan malah terasing, beliau belajar dan menuntut ilmu. Bahkan sepulangnya dari pengasingan, beliau pulang ke Jogja dan mendirikan Taman Siswa. Disanalah, pelajar pribumi ngerti(mengetahui), ngrasa (memahami), ngalkoni (melakukan). Pemikiran dan dasar pendidikan serta kebudayaan juga berkembang.

Nah di era sekarang memang sudah banyak kaidah yang diterapkan di dunia pendidikan ala Ki Hajar Dewantara. Misalnya tentang Student Learning Center. Tujuannya jelas sangat mulia dengan menempatkan penuntut ilmu sebagai subjek yang melakukan dan mencari tahu sendiri. Sayangnya, penerapan di lapangan macet. Kelas menjadi dingin dan kaku.

Guru bertanya, ”Apakah ada yang kurang mengerti?”

Siswa hanya diam.

Muncul lah dua spekulasi. Apakah murid benar-benar mengerti pelajaran yang disampaikan atau tidak mengerti sama sekali. Sebagai murid, saya paham betul kalau kenyataannya murid tidak mengerti apapun dan tidak mendapat apapun sepulang sekolah. Hanya datang duduk diam, pulang.

Solusinya dengan memastikan kegiatan dalam kelas adalah dalam kondisi paham terhadap apa yang dipelajari. Presentasi dikelas misalnya, penyaji harus dipastikan dahulu mengerti benar apa yang akan disampaikan dan pendengarnya harus dipastikan mengetahui sedikit apa yang akan dipelajari hari itu. Sehingga suasana kelas hidup. Guru tinggal mengarahkan alur sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

Dalam hal ini, murid juga harus punya semangat dan kemauan belajar. Selama ini, murid selalu menantikan jam berakhirnya pelajaran, jam kosong atau hari libur. Ini payah. Hasrat mengenai pentingnya ilmu pengetahuan masih kurang. Alhasil, dikelas mereka hanya sekedar datang dan sekolah atau tidak sekolah sama saja.

Sebenarnya bukan hanya itu saja, permasalahan pendidikan di Indonesia ini masih pelik dan kompleks. Tentang Trisentra pendidikan seorang pelajar yang di ajarkan Bapak Pendidikan Indonesia, yaitu: alam keluarga, alam sekolah, dan alam lingkungan sekitar.

Dimana bukan hanya sekolah satu-satunya pemegang kendali anak. Ada keluarga dan lingkungan sekitar anak. Menjadi percuma disekolah diajarkan jujur kalau keluarganya mengajarkan yang lain. Menjadi percuma disekolah diedukasi mengenai bahaya rokok kalau pergaulan anak dengan preman jalanan yang suka merokok mabuk dan judi.

Sinergi antara sekolah dan keluarga serta kesadaran lingkungan sosial harus dibentuk sedari awal.

Belum lagi mengenai Guru sebagai patokan siswanya. Beberapa bulan lalu, dunia pendidikan gempar karena seorang guru berbuat asusila terhadap muridnya. Banyak kejadian senada dari tahun ke tahun semakin parah.

Padahal, Ki Hajar Dewantara juga telah mengajarkan apa yang menjadi semboyan pendidikan negeri ini, Tut Wuri Handayani. Tertera bahwa guru adalah pendorong murid, pemrakarsa ide, dan teladan bagi muridnya.

Menjadikan generasi emas memang tidak mudah. Banyak hal yang harus dibenahi dan diperbaiki. Dibutuhkan perumusan kurikulum pendidikan yang kompleks. Penerapan yang tepat sesuai dengan tujuan. Dan juga mengenai kesadaran setiap orang terhadap perannya dalam dunia pendidikan.

Semoga pendidikan nasional semakin cerah dan berkualitas.

[caption id="attachment_364029" align="aligncenter" width="300" caption=" 14305587061133606095 Pray for better education in Indonesia. Sumber foto: inacourse.com"][/caption]

Selamat Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2015. Mari mengenang ulang sejarah. Meregenerasi cara belajar, cara mengajar, dan cara mendidik. Merefleksikan ke dalam sanu bari sebagai orang yang ikut serta dalam lingkup pendidikan.

Semangat!

Selengkapnya ada di https://hafidhmind.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun