Pandemi belum berakhir.Â
Ambisi berkuasa juga tak pernah mau berkesudahan.
Selalu menyisakan generasi ke generasi. Â
Rakyat tak bisa diobati hanya dengan dandanan di baliho.Â
Baliho bukan sembahan.Â
Baliho hanya bentuk kemunafikan?
Iya kalimat-kalimatnya bagus tetapi prakteknya hanya berdasarkan kepentingan diri dan kelompok.Â
Tatanan kota dan pikiran kian semrawut.Â
Baliho tidak memperindah kota, justru hanya jadi bahan ledekan.Â
Zaman digital sudah sedemikian majunya, tetapi cara-cara jadul merayu rakyat masih digunakan.
Â
Seorang mantan Presiden berkata "Blusukan...oeee..blusukan" Kira-kira begitu serunya.Â
Tampaknya tak ada yang berani menjalin kasih cinta pada rakyat jelata.Â
Mereka hanya ingin enak-enakan rebahan di rumah sambil menunggu laporan elektabiltasnya melonjak.
Mereka lahap menikmati hiburan berkelas dengan menu makanan yang sangat langka bagi rakyat.Â
Mereka pikir, dengan baliho sudah bisa mengibuli rakyat. Pencitraan yang paling mudah asal banyak duitnya.Â
Baliho sudah seperti ritual mengubah nasib bagi sebagian politisi, untung-untungan.Â
Jangan-jangan banyak politisi yang bekerja hanya berdasarkan untung-untungan? Â
Untung kalau korupsinya tak terdeteksi? dan naas kalau kena ciduk OTT KPK.
Buntu buntu dan buntu...Â
Hidup dibuat tak menentu.Â
Bagaimana Indonesia bisa maju?Â
Kreatifitas berpolitik yang stagnan. Padahal politik itu dinamis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H