Mohon tunggu...
haerul said
haerul said Mohon Tunggu... Guru - Membaca dan menulis sudah menjadi candu.

Menulis melengkapi bacaan...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pancasila, Keadilan dan Kebahagiaan di Rumah Kajian Quran

26 Agustus 2019   04:23 Diperbarui: 26 Agustus 2019   04:56 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian Jemaah yg ikut foto bareng, Ustad M. Rusli Malik & Dr. Ammar Fauzi (di tengah batik coklat)

Berawal dari bagaimana sejak dulu manusia berpikir menciptakan tatanan dunia yang baru dari sekian banyak konflik, tentu saja yang dimaksud adalah kehidupan yang harmonis. Bahkan disinggung juga bagaimana peran atau "arwah" Plato selalu hadir pada Para Pemikir Islam, sehingga "arwah" Plato ini bisa diakomodasi oleh Islam. 

Tarikan yang diambil Dr Ammar Fauzi dimulai dari dunia secara global lalu menuju Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Dan tidak menutup keumungkinan, Pancasila yang benar-benar sakti ini bisa menjadi contoh yang layak bagi negara-negara lain. Karena Pancasila dirumuskan dari pergumulan pemikiran yang sangat teliti dan mendalam, juga lahir dari rahim bangsa Indonesia itu sendiri, yang juga melibatkan agama. Karena itulalah KeTuhanan Yang Maha Esa menjadi point pertama. 

Sempat juga disinggung "Garuda itu di dada" sebab kalau masih di kepala, bisa jadi hanya berisi teori-teori yang minim praktek dan melahirkan tukang debat yang menghabiskan energi, padahal yang terpenting dari Pancasila itu adalah prakteknya, karena itulah keimanan di dada agar praktek sehari-hari dari Pancasila ini benar-benar diwujudkan. Jadi bicara semangat Bhineka Tunggal Ika itu sama saja NOL kalau tidak ada Iman di dada. Karena Keimanan mengakomodasi kebhinekaan. Keimanan dari proses berpikir memahami arti relatif dan mutlak tadi. 

Berkenaan dengan Bhineka Tunggal Ika, Dr Ammar Fauzi mengajak jemaah melihat Surah Al-Baqarah ayat 213. Dalam ayat ini ada Persatuan dan juga menyinggung perselisihan. Dahulu ummat ini satu dan setiap manusia dilahirkan membawa fitrah tauhid, dengan tauhid inilah manusia disatukan. Namun juga secara kodrati ada perbedaan dan juga perselisihan. Dan ketika manusia bertanya tentang hal ini, maka Tuhan mengirimkan Nabi sebagai pembawa risalah atau perangkat pemersatu. 

Selain Persatuan dan perbedaan, juga tak kalah penting yang dibahas adalah kebahagiaan dan keadilan. Apakah keadilan itu tetap berjalan namun kehidupan kita tidak sejahtera? Ataukah apakah kebahagiaan itu ketika sudah memiliki banyak materi?

Seperti cerita Sang Raja yang digambarkan oleh Narasumber memiliki segalanya, namun ternyata ada yang lebih bahagia dari Sang Raja. Dan ternyata kebahagiaan sejati itu ada setelah kematian. Di sini Narasumber kembali memantik pikiran hadirin atau jemaah, bagaimana seharusnya bertindak di kehidupan ini untuk memperoleh kebahagiaan sejati itu. 

Jadi, untuk mengimplementasikan nilai-nilai kebangsaan dan kebhinekaan dalam kehidupan sehari-ada seni berfilsafatnya yang perlu dipahami terlebih dahulu, tanpa perlu mengkerutkan dahi dengan istilah-istilah filsafat yang njelimet, tapi keimanan di hati yang lapang dalam menampung arti perbedaan ini. 

Untuk video rekaman dari acara ini, insya Allah semoga bisa menyusul. Tulisan ini akan update link-linknya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun