Mohon tunggu...
haerul said
haerul said Mohon Tunggu... Guru - Membaca dan menulis sudah menjadi candu.

Menulis melengkapi bacaan...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Angpao Angko Sun

2 Februari 2016   00:39 Diperbarui: 5 Februari 2016   17:55 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam meratapi siang dan siang juga demikian, atau sebenarnya mereka saling merindukan namun tak mungkin bisa menyatu, karena siang sudah kodratnya seperti itu juga malam tetaplah kodratnya begini, tapi sungguh indah, ada harmoni yang terbangun, sistem ini sangat rapi. Apa jadinya jika dari awal penciptaan yang ada hanya malam?. 

Kini lengkaplah sudah dua sejoli saling membalas,

"Hei kamu malam...biarlah aku menjadi siang"

"Ah tidak boleh, akulah yang siang dan kamu malamnya"

"Ah biarlah aku malam, tapi rembulan kan datang menyapaku, jangan cemburu ya..."

Renungan kian malam kian menukik, tak sejurus pun koding-koding itu bisa tuntas, sulit fokus, dan bahkan desain pikiran masih memilah-milah apakah warna ini seharusnya berada diposisi mana?, dan haruskah sekte ini berwarna seperti warna sekte itu?, semua berangkat dengan beragam persepsi, hati kecil lunglai, lelah terkulai bahkan nyaris tak berhasrat lagi menuangkan goresan satu dua garis. 

Angpao sebentar lagi menghampiri, "Eits tungguh dulu, kamu khan sudah menikah, mana mungkin bisa dapat angpao?, ini tradisi, bagaimana kalau bakpao saja, halal kok, kalau perlu aku beri label halal yang gede-gede, meskipun cap halal bukan jaminan benar-benar halal, kalau bakpao-nya hasil dari korupsi?, kan haram juga jadinya.. wuesss.. " 

Tapi ada juga loh yang memberikan angpao meski orang-orang itu sudah menikah, Angko Sun contohnya, dulu semasa beliau masih hidup selalu membagikan angpao, bukan hanya dari keluarganya saja, tetapi mulai dari tetangganya hingga nyaris kampung sebelah juga kebagian. Mirip-mirip pak Haji yang di luar kota itu yang setiap hari raya selalu memberikan amplop putih, kupikir hanya beda amplop saja, kalau angpao lebih ceria warnanya. 

Beda tradisi tapi sama-sama luhurnya, pikirku kalau kejadian seperti ini yang diliput awak media dengan tidak bermaksud ria, mungkin bisa menjadi inspirasi bagi negeri ini yang beragam, meski berbeda tapi nilai-nilai luhur sama-sama digalakkan. 

Aku masih ingat Angko Sun pernah berkata begini " Semakin kita memberi maka kita semakin bahagia, membahagiakan makhluk juga membahagian pencipta", Angko Sun selain pengusaha sukses yang sibuk tapi beliau tak ketinggalan berolahraga pagi seperti senam taichi, iyahh..kayak Jet Lee lah, dan banyak petuah-petuah yang beliau sampaikan, meskipun saat itu aku belum mengerti hanya mengangguk-angguk saja di antara orang-orang dewasa yang selalu ngumpul ngeronda di pos keamanan. 

"Sungguh ane rindu sama Angko Sun, diam-diam ane berziarah ke kuburnya dan tak ada yang tahu" Kata Pak Haji Nuddin

"Kenapa mesti sembunyi-sembunyi?" 

"Kalau ente masih tinggal lebih lama disini, akan tahu juga" 

"Duh kenapa harus tinggal lama, bukankah sebaiknya beritahu saja, lebih cepat dan lebih jelas" Aku penasaran. 

"Beginilah sikap manusia, selalu terburu-buru. Ente punya otak dan akal kan?, nah gunakan itu untuk merenungkannya, jelas?" Aku menunduk, khawatir Haji Nuddin marah. 

Tapi aku penasaran lagi, "Apakah orang mati bisa dirindukan?" 

"Mmmhhh...dasar ente sulit mengerti. Dengar baik-baik!, manusia itu sebenarnya tidak mati, hanya jasadnya saja yang tidak bisa lagi bergerak, nyawa orang itu ke dimensi lain yang tidak bisa kita lihat dengan mata kita. Dan ane rindu sama Angko Sun bukan karena rindu Angpao-nya yang selalu diberikan kepada ente,  akan tetapi ane rindu sosok-sosok seperti beliau yang tidak merisaukan perbedaan, dan baginya meski berbeda namun berbuat baik adalah kewajiban manusia kepada penciptanya. Ini yang ane demenin, beliau adalah orang yang peduli pada kemanusiaan. Sudah banyak yang telah dibantu, bahkan beberapa pengusaha yang sekarang tokonya sudah mulai besar itu akibat bantuan dari Angko Sun. Angko Sun adalah guru, dermawan, bijak dan selalu bersedekah. Jadi mana mungkin ane kagak rindu sama sosok beliau... (hikz..hikz...)" Haji Nuddin mulai terisak-isak dan mata berkaca-kaca.

Aku hanya tertunduk lesu tak bisa lagi berkata-kata, ternyata banyak hal yang belum kuketahui. 

"Pak Haji, ma...ma...ma...af... aku hanya mengerti isi Angpao, belum mengerti apa yang pak Haji sampaikan, apakah pak Haji juga mau bagi-bagi Angpao putih juga nanti?" Duh..orang geblek.. 

"Ihh....dasar ente..,sudahlah...kalau ngak ngerti-ngerti sudahlah, dan ngak usah bertanya, pikirin aja Angpaonya, selamat tinggal, ane mau ziarah dulu ke kubur Angko Sun" 

"Pak haji pak haji...aku ikut..." 

"Tidak boleh, karena ente belum mengerti tadi, maka ente tak boleh ikut, nanti kalau sudah mengerti baru bisa ikut.. Heran ane, orang sepertimu sulit mengerti, tapi kalau duit cepat mengerti, astagafirullah.. mau jadi apa masyarakat ini kalau duit menutupi makna bukan malah menjadikan duit sebagai kendaraan mencapai kemuliaan. Innalillah.. "

Tak ada lagi bising, tak ada lagi sayup-sayup, dan tak ada batas kerinduan, karena semua ini harmonis antara penerima dan pemberi, dan antara Koko dan Cece masing-masing menguatkan, antara Angko dan Pak Haji saling bersinergi, karena mereka sudah mencapai kesadaran maksimal bahwa "Kita satu bangsa, yaitu INDONESIA". 

 

Selamat Hari Raya Imlek bagi yang merayakan.. 

Ditunggu Angpaonya..hehehee. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun