Dalam konsep kota modern, transportasi publik adalah kunci untuk menggerakkan jutaan manusia dikota tersebut. Kepemilikan kendaraan pribadi yang jumlahnya semakin masif akan menguras lebar jalan hingga tak tersedianya slot kosong bagi para penggunanya. Pemerintah yang berwawasan modern dan ingin menyelamatkan kotanya dari stucknya jalan dikota tersebut mau tak mau harus memberikan perhatian yang lebih kepada pembangunan transportasi umum.
Untuk kota  besar seperti Jakarta dengan wajah kompleksitas pembangunan semakin menantang karena Jakarta memegang predikat sebagai pusat pemerintahan dan pusat bisnis sekaligus, 2 hal tersebut menyebabkan Jakarta dan kota-kota satelit disekitarnya menjadi sesak akan manusia. Pemerintah berperan sebagai pengayom masyarakat, harus memikirkan kebutuhan warganya terutama seperti pemerintah daerah seperti DKI Jakarta. Saat ini dibutuhkan banyak hal untuk melengkapi kebutuhan bagi penduduk dikota tersebut seperti transportasi.
Transportasi didaerah padat penduduk di Jakarta adalah bagaimana mengurangi pemakaian kendaraan pribadi warganya dan berganti dengan angkutan umum. Untuk data tahun 2018 kendaraan bermotor roda empat yang jumlahnya mencapai sekitar 3,5 juta dan kendaraan roda dua mencapai 14,5 juta. Bisa dibayangkan bagaimana semua kendaraan tersebut tumpah ruah dijalanan Jakarta diwaktu yang sama. Sehingga membentu simpul kemacetan dimana-mana dan menurunkan kebahagian warganya.
Transportasi publik DKI
Era transportasi publik dimulai saat gubernur Sutiyoso atau bang Yos membangun TransJakarta, yang akan melintas disepanjang jalan ibukota, ditambah ada monorail, subway dan waterway, era transportasi publik DKI Jakarta pun dimulai. Hingga pertengahan 2006 monorail yang digagas bang Yos menemui hambatan dan tak berjalan. Praktis hanya TranJakarta yang berkembang dan menjadi andalan.
Ganti gubernur ke Fauzi bowo, TransJakarta menambah banyak jalurnya menjadi 11 koridor dengan variasi moda yang cendrung stagnan, terhambatnya pertumbuhan transportasi publik sejalan dengan semakin macetnya ibukota. Tapi Bang Foke meninggalkan warisan terminal Pulo Gebang sebagai salah satu terminal terbesar di Asia Tenggara.
Lanjut ke gubernur Jokowi, era transportasi publik berbasis rel dimulai yang ditandai dengan dimulai pembangunan MRT dan mencoba mengharapkan pembangunan kembali monorail namun sayngnya kembali mentah, Jokowi juga berhasil merevitalisasi beberapa terminal di DKI Jakarta untuk menunjang pembangunan transportasi publiknya.
Basuki Tjahaya Purnama melanjutkan suksesi Jokowi yang terpilih menjadi presiden. Membangun jalur layang untuk BRT TransJakarta koridor 13 dan LRT Jakarta Velodrome-Kelapa Gading adalah visi seorang Basuki dan presiden Jokowi tak ketinggalan membangun konsep transportasi publiknya yang coba mengakomodir warga dikota-kota satelit Ibukota dengan membangun LRT Jabodebek.
Namun ada satu yang hilang dimasifnya pembangunan trasnportasi tersebut yakni hilangnya integrasi diantara semua moda tersebut. Sebagai contoh sebelum tahun 2108 bisa dibayangkan LRT Velodrome-Kelapa Gading hanya berjalan bolak balik disekitar rute yang singkat yakni 5,8 km.
Berdekatan dengan halte transJakarta Rawamangun namun penumpang LRT tak dapat berpindah moda secara praktis. Imbas yang akan terjadi jika tak ada sarana untuk integrasi adalah pertumbuhan jumlah penumpang yang tak berarti, pengguna LRT Jakarta hanya bisa melintas sepanjang 5,8 km saja. Dimasa gubernur Anies ini yang coba diperbaiki.
Integrasi adalah Koentji