Mohon tunggu...
Haendy B
Haendy B Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger, Football Anthutsias

mengamati dan menulis walau bukan seorang yang "ahli" | Footballism

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Bagaimana Liverpool Menjadi Beda di seantero Inggris Raya

17 September 2019   10:55 Diperbarui: 17 September 2019   11:20 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendukung militan Liverpool by bola.com

Laga pembuka liga Inggris yakni pertandingan Community Shield antara Liverpool versus Manchester City di Stadion Wembley, London, Ahad (4/8/2019) waktu Inggris menghasilkan cerita yang bikin seantero Inggris mengernyitkan dahi, liverpool memang kalah tapi fans mereka bikin hal yang tak terduga, yakni sebelum pertandingan dimulai, tepatnya saat lagu kebangsaan Inggris diperdengarkan dan tepat di depan Pangeran William, putra mahkota Kerajaan Inggris Raya, serta kepada yang hadir dalam pertandingan, Liverpudlian dengan gagah menyoraki lagu kebangsaannya sendiri, God Save The Queen.

Aksi sorakan ini bukan manifestasi kegagalan pramusim Liverpool sehingga berimbas pada frustrasi para penggemar Liverpool, bukan juga karena mereka kalah dramatis di liga musim lalu melawan Manchester City, tapi lebih dari itu semua, fans Liverpool di Inggris dengan sadar dan tanpa paksaan menyoraki lagu kebangsaan Inggris, mereka mencoba melawan lupa pada sejarah hitam oleh monarki Inggris dimasa lalu.

Melihat Sejarah

Hal diatas tak mungkin terjadi jika Margareth Theacer (Perdana Menteri) si wanita bertangan besi cendrung pasif saat tragedi Heysel pada 29 Mei 1985 silam, tidak menunjukkan bagaimana respon cepat tanggap seorang kepala pemerintahan. 

Tindakan Margareth Theacer seperti menyalahkan para Liverpudlian membuat para pendukung Liverpool menyimpan bara dendam berkepanjangan, yang kemudian menasbihkan sebuah presentasi bagaimana Liverpool menjadi klub sepakbola Inggris dengan cara tak Inggris. Setelah kejadian itu, hooliganisme di Inggris dan kebencian pendukung Liverpool pada Thatcher mencapai titik akumulasi akut.

4 tahun berselang akumulasi akut kebencian pendukung Liverpool pada Thatcher makin diubun-ubun saat terjadinya Tragedi Hillsborough pada 15 April 1989. Di Hillsborough Stadium milik Sheffield Wednesday kala itu, dihelat partai semifinal FA Cup antara Liverpool dan Nottingham Forest, 96 pendukung Liverpool yang berada di tribun Lepping Lane tewas terhimpit.

Selama kurun waktu 20 tahun lebih, pada akhirnya terkuak juga kebenaran bahwa memang terjadi penutupan fakta dengan sengaja. Ternyata memang ada faktor kelalaian oleh pihak kepolisian South Yorkshire yang bertugas kala itu. 

Namun, di laporan akhir pasca kejadian, nama unit kepolisian South Yorkshire tetap bersih. Thatcher sang perdana menteri tetap bersikukuh bahwa penyebab utama kejadian adalah ulah pendukung Liverpool sendiri. 

Hal ini menunjukkan bahwa secara sikap Thatcher memang berada disebrang pendukung Liverpool dengan tak memiliki nurani di hadapan keluarga dari 96 korban tragedi Hillsborough.  

Menjadi beda

Liverpool adalah kota yang "berbeda" dengan kota-kota di Inggris kebanyakan. Saat kota lain terisolasi dan memilih tunduk terhadap tirani kerajaan, kota Liverpool dengan masyarakatnya memilih jalan lain, cendrung kiri. 

Seperti dalam pilihan politik, sejak 1979, dalam setiap pemilihan umum, masyarakat Liverpool mantap memilih Partai Buruh sayap kiri. Sementara itu, sebagian besar masyarakat Inggris mantap mengarah ke kanan.  Dari sana, Liverpool baik kota dan klubnya selalu dikucilkan di Inggris dan dianggap musuh besar orang-orang konservatif Inggris. 

Puluhan tahun selepas Thatcher lengser, label Liverpool sebagai musuh besar orang-orang konservatif kembali menguat setelah Boris Johnson terpilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada Juli 2019 menggantikan Theresa May. Ditelisik lebih jauh para pendukung Liverpool punya sejarah panjang bermusuhan dengan Johnson. 

Pada 2004, Johnson sempat melabeli Liverpool sebagai "kota nelangsa" akibat dari timpanya perekonomian disana, perkataan yang bikin kuping menjadi merah bagi para pendukung Liverpool dikotanya. 

Sudah menjadi rahasia umum kalau Liverpool adalah klub yang paling dibenci di Inggris. Saat Manchester United, Chelsea, Arsenal, Tottenham Hotspur, hingga Manchester City gagal menjadi juara, para penggemar mereka akan ikhlas melihatnya dan menyebut tim mana saja boleh menjadi juara, asal bukan Liverpool. 

Sikap ini bisa juga berasal sendiri dari fans Liverpool yang selalu mengenang kejayaan masa lalu saat merajai Eropa dan Inggris diera 70an, serta bagaimana keberuntungan sepakbola yang berpihak pada klub Liverpool seperti dongeng Istambul.

Namun, Liverpool dan Liverpudlian maupun The Kopites barangkali tak akan pernah menggubris pandangan tak mengenakkan tersebut. Bagaimana pun, Liverpool memang berbeda: lewat perjalanan panjang bersejarah, politik memang sudah mengakar di dalam budaya Liverpool. Seperti Bill Shankly, mantan pelatih legendaris The Reds, Liverpool percaya bahwa sepakbola lebih dari sekadar urusan hidup dan mati.

"Bentuk sosialisme yang aku yakini ialah saat setiap orang bekerja satu sama lain dan saling berbagi penghargaan. Aku melihat kehidupan dengan cara seperti itu, pun demikan saat melihat sepakbola," kata Shankly. 

Liverpool pun tampaknya akan terus menggunakan pernyataan itu sebagai cara ampuh untuk melawan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip mereka. Tak peduli apa kata orang. Tak peduli seberapa besar mereka harus menanggung amarah seantero Inggris raya, mumpung belum terkalahkan hinggan pekan kelima Premiere League tak salah Liverpudlian dan The Kopites bermimpi juara liga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun