Selama 50 hari antara bulan Desember 2022 - Februari 2023 saya mengikuti kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Dusun Gondangan, Pengasih, Kulon Progo. Dusun Gondangan sendiri dapat dideskripsikan sebagai perkampungan dengan perumahan yang jarang-jarang dengan kondisi geografis lembahan. Sebagai perkampungan yang tidak memiliki banyak pendatang ditambah lokasi yang sulit diakses membuat tradisi-tradisi leluhur, meski memiliki beberapa perubahan, tidak hilang wujudnya. Salah tradisi tersebut adalah Rewang.
Rewang adalah tradisi membantu penyiapan rangkaian kegiatan hajatan yang dilakukan oleh tetangga atau kerabat yang punya hajat.Â
Meski rewang secara spesifik merujuk pada penyiapan kudapan atau olahan berkat oleh ibu-ibu atau perempuan yang sudah menikah, tapi pada tingkat hajatan besar yang kebutuhan persiapannya mencakup juga pemasangan tenda juga dekorasi maka bapak-bapak atau pria dewasa juga ikut merewang.Â
Banyak-sedikitnya kehadiran para perewang biasanya ditentukan dari seberapa berpengaruh posisi yang punya hajat dalam kehidupan dusun, seberapa penting acara yang hendak dilaksanakan, juga seberapa banyak kerabat yang berhubungan dengan hajatan. Ketiga hal tersebut mempengaruhi jumlah kehadiran, yang jika dipiramidakan merentang antara kerabat-tetangga RT-tetangga RW-Tetangga Dusun.
Perjumpaan saya dengan rewang diawali dengan ajakan salah seorang warga dusun yang mengajak saya untuk merewang acara kenduri atau hajatan 7 bulan kehamilan salah seorang warga dusun. Di lokasi kenduri tersebut saya pertama kali menjumpai pembagian tiga area hajatan, dimana saya temui berkali-kali dalam tiap pelaksanaannya, yaitu area utama hajatan, area sinom, dan area rewang. Area utama hajatan seperti namanya merupakan area utama pelaksanaan hajatan dimana doa bersama, penyantapan kudapan, dan ritual tradisional dilaksanakan.
Sedangkan sinom dan rewang, berhubungan dengan sifatnya yang membantu pelaksanaan hajatan. Area sinom biasanya diisi pemuda/pemudi yang akan mengantarkan kudapan dan berkat ke area utama. Teh, sebagai kudapan paling umum, umumnya juga dibuat di area ini. Sedangkan area rewang biasanya terdiri dari ibu-ibu yang telah memasak dari pagi untuk membuat berbagai panganan berkat. Berkat yang dibuat oleh para ibu-ibu sendiri umumnya adalah gudeg nangka muda, tempe bacem, bihun, telur rebus, ayam suwir.
Adapun saat persiapan pernikahan anak induk semang adalah saat dimana saya secara intens terlibat dalam merewang. Sebagai pria, saya membantu bapak-bapak dalam memasang rangka tenda, menyiapkan dekorasinya, juga membenahi lingkungan sekeliling untuk mempermudah penataan area pelaminan. Sama seperti yang saya kemudian ketahui di area memasak, biasanya terdapat salah satu atau beberapa warga yang bertugas sebagai pengarah atau mandor untuk mengarsiteki penataan area utama pelaminan.Â
Adapun di area memasak, para ibu-ibu menyiapkan berbagai panganan untuk disiapkan sebagai hidangan pada saat resepsi. Karena kebutuhan panganan yang besar untuk kebutuhan resepsi, para beberapa ibu-ibu perewang biasanya akan bermalam di rumah yang punya hajat untuk bergantian begadang untuk memasak menyiapkan olahan. Pada hari H, pemuda-pemudi biasanya ditugaskan untuk nyinom (sinom) untuk membantu pengantaran kudapan atau sebagai penerima tamu.
Selain itu terdapat juga bagian bagian kebersihan dalam nyinom, yang khusus dipersiapkan untuk membersihkan gelas yang digunakan sebagai bagian dari hidangan kudapan sehingga bisa dipergunakan kembali---karena keterbatasan ketersiadaan gelas.
Hal yang pertanyakan hasil dari pengamatan juga keterlibatan saya dalam rewang adalah bagaimana cara yang punya hajat membayar upah perewang. Dalam hajatan kecil setidaknya sekitar 10-15 ibu-ibu yang datang membantu, sedangkan dalam hajatan besar seperti pernikahan bisa tiga kali lipatnya. Itupun belum menghitung para perewang diluar pekerjaan memasak. Asumsi saya jika pembayarannya mengukur beban kerja yang dikonversi menjadi uang rupiah maka tidak akan sebanding dengan tingkat pendapatan warga desa. Namun pertanyaan ini terjawab lewat perbincang saya dengan bapak induk semang paska rangkaian pernikahan selesai.
Selain pengarah di dapur, umumnya perewang tidak diberi upah yang bersifat terpisah dari berkat. Sehingga, setiap perewang akan mendapatkan berkat yang akan dibagikan langsung setelah hajatan berakhir atau dalam hajatan kecil lewat anggota keluarga yang hadir dalam pelaksaanaan kenduri atau slametan (umumnya anggota keluarga pria).Â
Meski, yang diakui oleh bapak induk semang, kalau secara ekonomi lebih menguntungkan untuk mempekerjakan katering, tapi manfaat atau sanksi sosial yang berpengaruh dominan dalam kelestarian tradisi rewang. Kedua hal tersebut secara berbarengan efektif untuk membuat warga desa untuk rela mengeluarkan "biaya sosial" yang tidak kecil untuk membuat diri dan keluarganya untuk tetap relevan di masyarakat.
Sebagai kesimpulan, dapat dikatakan bahwa rewang adalah tradisi yang hadir dari kentalnya hubungan antara warga desa. Interaksi intens yang hadir akibat kondisi sosial-lingkungan desa menciptakan situasi saling membutuhkan diantara warganya. Hal ini termasuk bagaimana cara warganya menyelenggarakan kegiatan yang bersifat kebutuhan komunal (seperti kerja bakti kebersihan mingguan) atau personal (seperti hajatan/kenduri). Meskipun memerlukan "biaya sosial" yang tidak sedikit, kompensasi atas manfaat keguyuban dan penghindaran atas sanksi sosial membuat warga dusun rela membayarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H