Kemiskinan di Indonesia       Â
Kemiskinan sudah menjadi suatu fenomena yang selalu hangat untuk diperbincangkan di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Memang tak mudah bagi suatu negara untuk mengetaskan penduduknya dari belenggu kemiskinan, butuh suatu kebijakan yang komprehensif dan berkesinambungan.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia dari Tahun 1997 hingga 2016
Sebagian besar hak-hak dasar mereka sebagai anak-anak seperti pendidikan, kesehatan, maupun tempat tinggal yang layak, semuanya terampas karena mereka terlahir dari keluarga miskin. Seakan-akan kesempatan mereka untuk bisa menyenyam kehidupan yang layak dimasa mendatang semakin kecil lantaran hak-hak dasar mereka sebagai anak yang notabene merupakan masa-masa tumbuh berkembang dirampas oleh kemiskinan.
Lingkaran kemiskinan sudah bagaikan benang kusut yang sangat susah untuk diurai. Kemiskinan adalah warisan. Mungkin itu sangat cocok untuk menggambarkan fenomena kemiskinan.Â
Orang yang miskin kemungkinan besar mereka dulu dibesarkan oleh orang tua yang miskin pula. Bisa jadi sampai cicit-cicit mereka rentai kemiskinan itu tetap exsis. Memang sangat susah bagi seseorang yang terlahir dari keluarga miskin, keluar dai lingkaran kemiskinan. Seakan semua itu warisan keluarga yang harus diterima dan dihadapi.
Butuh kerja keras dan kesadaran dari semua pihak untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, baik itu dari orangtuanya sendiri dan dari sang anak itu sendiri. Kesadaran orang tua untuk memberikan dan memenuhi hak-hak anaknya guna mendapatkan kesempatan yang luas di dunia pendidikan dan kesehatan. Dua dimensi inilah kunci bagi seorang anak untuk bisa keluar dari lingkaran kemiskinan.
Kemiskinan Anak di Indonesia
Pada bulan Juli 2017 silam, BPS berkerjasama dengan UNESCO untuk pertama kalinya mempublikasi analis kemiskinan anak dan Deprivasi Hak-Hak Dasar Anak di Indonesia. Â Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2016, di tahun 2016 tercatat 13,31 persen anak di Indonesia hidup dalam belenggu kemiskinan.Â
Definisi anak miskin yang dibahas disini memiliki konsep seperti konsep kemiskinan secara umumnya, yaitu anak yang hidup dalam rumah tangga dengan pengeluaran perkapitanya dibawah garis kemiskinan (garis kemiskinan Maret tahun 2016 adalah Rp 354.386 /kapita/bulan).Â
Dari semua kelompok umur (anak-anak, remaja, pemuda dan lansia), kelompok anak-anaklah yang mempunyai jumlah persentase kemiskinan tertinggi. Hal ini diduga karena tingkat ketergantungan anak terhadap orang tua dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka masih tinggi. Selain itu, masih rendahnya kemandirian mereka dari segi ekonomi juga menjadi salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan anak.
Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan Anak
Daerah Tempat Tinggal (Pedesaan dan Perkotaan)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan anak, diantaranya yaitu daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan) dan karakteristik rumah tangga. Persentase anak miskin di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan yang berada di perkotaan.Â
Hal ini selaras dengan data kemiskinan makro yang menunjukkan jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih banyak daripada penduduk miskin di perkotaan. Anak yang tinggal dalam keluarga yang miskin, akan terseret dalam lubang kemiskinan yang telah dibuat oleh silsilah keluarganya. Ini bisa diibaratkan sebagai efek berantai. Orang tua yang hidup dalam kemiskinan akan melahirkan anak yang miskin pula.
Karakteristik Rumah Tangga
Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga
Memang tak bisa dipungkiri lagi jika laki-laki memang dikodratkan sebagai kepala rumah tangga sekaligus tulang punggung keluarga. Berdasarkan hasil Analisis Kemiskinan Makro (BPS,2016), menyebutkan persentase wanita yang mengepalai rumah tangga miskin lebih besar daripada persentase rumah tangga tidak miskin.Â
Dari hasil analisis tersebut terlihat jelas bahwa rumah tangga yang dikepalai oleh seorang perempuan mempunyai resiko jatuh miskin lebih besar daripada yang dikepalai oleh laki-laki. Sehinnga, anak-anak yang hidup bersama kepala rumah tangga perempuan mempunyai peluang lebih besar untuk hidup dalam kemiskinan daripa hidup bersama kepala rumah tangga laki-laki.
Pendidikan Kepala Rumah Tangga
Pendidikan kepela rumah tangga juga mempengaruhi kemiskinan anak. Lebih dari 70 persen anak miskin tinggal bersama kepala rumah tangga dengan pendidikan tamat SD ke bawah. Hal ini mengindikasikan bahwa peran pendidikan sangat vital dalam pengetasan kemiskinan.Â
Meskipun tidak ada hubungan langsung antara pendidikan dan kemiskinan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak akan semakin besar.Â
Oleh karena itu, untuk menyukseskan program pengetasan kemiskinan, pemerintah harus mengedepankan sektor pendidikan. Hasilnya memang tak langsung dirasakan seperti halnya program Bantuan Langsung Tunai (BLT), akan tetapi untuk investasi jangka panjang. Pembangunan kualitas sumberdaya manusia merupakan modal yang sangat bagus buat kelangsungan suatu bangsa dan negara.
Jumlah Anggota Rumah Tangga
Jumlah anggota rumah tangga juga turut mempengaruhi kemiskinan anak. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangganya, semakin besar pula peluang terjadinya fenomena kemiskinan anak. Dari hasil analisis diperoleh, bahwa satu dari empat anak yang tinggal di rumah tangga yang mempunyai jumlah anggota rumah tangga lebih dari tujuh akan mengalami kemiskinan.Â
Memang tak bisa dipungkiri lagi, semakin banyak anggota rumah tangga, maka beban pengeluaran rumah tangga tersebut akan semakin besar. Jika terjadi guncangan ekonomi, maka anak-anak lah yang menjadi korbannya, entah itu putus sekolah ataupun munculnya pekerja anak.
Status Migran/Bukan Migran Kepala Rumah Tangga
Hasil kajian dari publikasi BPS Analisis Kemiskinan Anak dan Deprivasi Hak-Hak Dasar Anak 2016 menyebutkan bahwa anak yang tinggal bersama kepala rumah tangga bukan migran akan mengalami peluang dua kali lebih besar untuk hidup dalam kemiskinan daripada anak yang tinggal bersama kepala rumah tangga migran.Â
Kesempatan kerja yang lebih baik di perantauan akan memberikan penghidupan yang lebih layak dari segi ekonomi maupun dalam memperoleh fasilitas-fasilitas dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, tentunya ada perbedaan cara pandang orang migran dan bukan migran, semangat untuk memperbaiki kualitas hidup dari segi ekonomi maupun sosial membuat mereka lebih bekerja keras dan berpikiran lebih terbuka.
 Sumber : Publikasi BPS Juli 2017, "Analisis Kemiskinan Anak dan Deprivasi Hak-Hak Dasar Anak di Indonesia."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI