Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Warrior's Path 4

28 Agustus 2024   06:56 Diperbarui: 28 Agustus 2024   06:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warrior's Path 4.

Aku Amara.angin berdesir cepat di lantai 7, lantai puncak pagoda yang bisa di capai, aku menatap setengah terpejam pada Kiato yang masih berteriak-teriak bangga ditepi balkon. Di bawah, sensei dan Kerlin memandang kami diatas, sedang Denki berjalan dengan kepala tertunduk kedalam pagoda.

Kulihat sensei tersenyum di balik topengnya, kemudian kembali sibuk dengan obrolannya dengan Kerlin, mereka terlihat akrab, seolah kenal lebih dari kemarin lusa. Mungkin karena itulah Denki terdiam beberapa saat sebelum sensei memanggilnya.

Baca juga: Warrior

Kiato terdiam di ujung balkon, terhipnotis oleh embusan angin yang melenakan dan kumpulan pegunungan Bakhil yang memesona.

Matanya mengambang jauh sebelum akhirnya jatuh ke Shijiki, kota berbentuk persegi delapan tampak sibuk dalam ingar binger tahun baru.

Puluhan kembang api dipersiapkan, ampion-lampion dirakit indah, dan tali temali berhiaskan paying diikatkan di tiap-tiap atap rumah penduduk, manisan dan makanan khas ikut dimasak dengan semangat.

Baca juga: Warrior

Angin kembali berembus, aku tersentak, mendapati diri terus memandangi Kiato setengah terpesona. Aku erapikan anak rambut di dahi, lalu membalikkan badan kesisi lain pagoda, arah barat. Matahari mulai bergeser kesisi kiri menciptakan bayangan dan menyembunyikan sosokku.

Aku melihat kebawah, aman. Kakiku memijak genting tanah liat dengan perlahan, sepanjang pagi embung turun lebih sedikit dan mengering lebih cepat, membuat permukaannya kesat dan mudah di panjat.

Aku melompat ke lantai enam. Dua hentakan kebawah dengan aman, punggungku merapat kesisi pagoda mengtur posisi agar lebih mudah turun di hentakan selanjutnya. Menegok keatas untuk memastikan Kiato tidak menyadari keberadaanku, mungkin yang dikatakannya tentang anggun tidak salah.

Baca juga: Warrior

Kakiku melompat dari atap keatap, kemudian menjatuhkan diri dari genting lantai satu. Mendarat di tumpukan yang kemarin ku sapu, tidak bisa terlalu meredam setidaknya sedikit mengurangi efek jatuhku.

Aku memandang sekitar, memastikan tidak ada yang terusik, pohon-pohon kering mulai meranggas, membiarkan setiap dahannya kedinginan dilewati angin musim gugur. Aku mengikat rambut menjadi ekor kuda, merapikan seragam latihan, dan mendengus kecil. Aku menendang tumpukan daun itu, menyingkap sebuah ventilasi besi di dasar fondasi pagoda, tidak ada yang menydarinya.

Aku tersenyum kecil, menendang ventilasi itu agar masuk kedalam ruang bawah tanah. Kemudian menyusul masuk, inilah gudang bawah tanah satu-satunya Kensi-Dojo. Aku meraih obor, kemudian meletakkan bubuk cahaya dan membakarnya.

 Tempat ini terasa hapak dan berdebu, seolah tak pernah terjamah sejuta tahun lamanya. Aku berjalan menyusuri rak-rak kayu tuanya, memerhatikan perkamen dan buku-buku tua yang dipenuhi debu atau sarang laba-laba.

Mataku menemukan benda yang kucari-cari, kotak kayu berisi benda-benda informasi Drake. Kemarin aku hanya sempat mengambil satu tabung, hari ini dokumen lain telah kusiapkan, tinggal dibawa dan dipelajari. Ruangan itu sepi dan temaram, cahaya dari obor mengungkap satu set samurai dan dua pedang Daisho di sisinya, bersamaan dengan setelah ninja beserta pedang ninjatonya yang mengilap.

Ketika mengambil kotak itu, mataku menangkap ukiran di kusen pintu disisi rak, gagangnya bergembok esar, tapi ukirannya yang menarik. Naga bersayap empat yang membukakan mulutnya pada seseorang yang membelakangi gambar, tubuhnya diukir sebuah pahatan nama, menggunakan huruf Shijiki Kuno.

Konsentrasiku pecah ketika mendengar langkah tepat di atas kepala. "seh" aku mendeis panik, cepat berlari ke ventilasi, melempar kotak terlebih dahulu kelubang itu dan melompat.

Tapi kakiku tersandung tumpukan buku dan terjatuh, tumpukan itu juga yang meredam jatuhnya ventilasi, sebuah buku silsilah terbuka disamping ku, menunjuk dua nama yang terpaut akar keluarga tak terlalu jauh, dua nama yang kukenal.

Aku akhirnya kembali memanjat lubang setelah melemparkan lempengan ventilasi keluar.

"Mara" seseorang memanggil namaku, telapaknya menawarkan bantuan, itu menarikku naik.

"Kia?" sebutku, terkejut dengan kehadirannya.

 "a... apa yang, kau lakukan disini" kalimatku terpotong ditengah.

"yah, Aku mendengar suara mu jatuh" jawabnya santai seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku berbalik, segera melentingkan tubuh keatas teras seperti kucing dan berlari sejenak, aku teringat sesuatu lalu berbalik.

Set.

Kiato sudah berdiri di depanku, tinggi kami sama, mata kami bersitatap dalam gelombang aneh. Aku bisa merasakan napasnya, bahkan degup jantungnya. "ki... ki... kia?" ucapku patah-patah, mundur selangkah, berusaha menjaga etika. "ya?" ia juga terdiam.

Aku membalikkan badan, menutupiku wajah ku yang memmerah.

"Kia, panggil Kerlin kekamar. Aku dapatkan informasi penting" aku melangkah malu-malu keatas melalaui tangga. Dilantai dua, ruang yang di sebuah Mat'am, tempat makan. Mendapati Denki yang sedang menghabiskan makan siangnya. "Denki, berkumpul di kamar tidur, bantu aku memeriksa dokumen Drake" ucapku sambil lewat.

Kamar hanya diisi oleh futon disalah satu sisi kamar dan sedikit perabotan, serta sebuah bonsai sakura ku yang juga meranggas di jendela. aku langsung menjatuhkan kotak dilantai, membuat suara gedebuk pelan dilantai.

Perkamen dan buku tua sudah ku sortir, semuanya berhubungan langsung dengan Drake. Tak lama Denki ikut masuk disusul Kerlin dan Kiato menggeser pintu selanjutnya. Kamar menjadi hangat walaupun berkali-kali angin melewati jendela. hingga.

Tok, tok, tok, tok.

Empat kali ketukan, kode dari sensei pertanda hal penting. Kami menoleh kearah pintu, bahkan Kerlin yang hampir terlelap dengan buku di wajahnya ikut menoleh. Kamar berantakan oleh buku dan perkamen, walaupun begitu, tidak banyak yang dapat disimpulkan.

"anak-anak, mari berkumpul di Mat'am" ucap sensei dari luar.

Kami duduk di satu sisi meja makan, sedang sensei duduk di sisi lainnya, dengan tenang ia meneguk tetesan terakhir sencha dalam gelasnya. "seperti tahun lalu, kita mengdakan kompetisi yang sama" ia membuka. Melalui topeng besinya terliihat mata yang hitam mengilap dengan sejuta makna. "dengan satu tambahan.

Malamnya. Malam musim gugur terasa dingin, berkali-kali angin menerjang dan membuat lebih dulu kebas. Kami berempat berdiri 50 meter jaraknya dari pagoda di setiap mata angin, sedang sensei berdiri di salah satu sudut dalam area segi empat ini. Ia mengepalkan angannya dengan jari tengah dan manis terangkat.

"MURABBA'" ia tiba-tiba memekik, dan seketika, sebuah kubus ungu terbentuk di sekitar kami, terus naik dan mempertegas setiap sisinya, hingga sempurna mengungkung seluruh pagoda dan sekitarnya.

"tidak sulit" ucap sensei, "area ini akan mengecil setiap saat, semua yang berada di dalam dapat keluar, tapi semua yang diluar tidak dapat masuk, ini akan memaksa kali untuk bergerak lebih cepat, masing-masing dari kalian mendapatkan satu kunai  dan mulai ketika shurikenku mengenai lapangan" belum selesai kalimatnya, benda baja itu sudah melambung.

Shuriken itu memantulkan cahaya kecil seperti sebuah bintang yang jatuh ketika ia berbalik. Aku menguatkan langkah, berusaha sefokus mungkin. Ini adalah kompetisi malam tahun baru yang kedua kalinya, dan aku akan menorehkan sejarah sebagai dengan dua kali berturut-turut menjadi pemenang.

Trek, set,set.

Dalams edetik langkah terpacu. Kelin dan Kiato melempar kunai terlebih dahulu, mendahului kami beberapa meter, sedangkan aku dan Denki memacu langkah lebih cepat untuk mendahului mereka berdua.

Walaupun tangkas, Kerlin tidak pandai memanjat ia tertahan di teras karena kesulitan mencapai lantai pertama melalui atap, Kiatolah yang memimpin. Aku melentingkantubuhmeraih tepian atap dan menarik naik, perjalanan naik lebih suit dari pada turun. Lantai ketiga, posisi tepat berada di bawah Kiato.

Aku tersenyum, ia membiarkan posisinya menjadi sangat mudah nuntuk diserang. Aku melemparkan kunai kesisi perutnya yang terbuka ketika ia menyeimbangkan diri.

Set.

Tendanganku tepat mengenai sisi yang kuinginkan. Tubuhnya jatuh sambil memekik "Mara!" aku tertawa kecil, tapi KIato berhasil mempertahankan diri di lantai tiga, posisi kami hanya berturkar. Tapi kubus ungu itu sudah berusaha mendahului Kiato, ia berada tepat diatas batas kubus, Kerlin sudah tereliminasi.

Aku kembali naik, lantai empat dan lima lebih mudah untuk dipanjat serta lantai-lantai atas, kompetisi ini selalu tahu siapa pemenangnya.

Aku meraih ujung tepian atap dan melakukan salto belakang yang sempurna.

Sret, sesuatu menyentuh sepatuku, trak, benda itu menancap. Denki sudah berdiri tepat di bagian puncak pagoda, ia memanfaatkan gerakanku untuk memeloloskan kunainya.perlahan ia meraih obor, dan mengangkatnya tinggi-tingg, sebelum akhirnya meletakkan kobaran api kedalam tumpukan arang, api tahun baru menyala, pertandingan usai.

Aku menggeser pintu kamar mandi, sembari menghembuskan napas penuh uap, aku baru saja selesai mandi, yang lain sudah terlelap setelah kembali kekamar sedang aku mengambil pelajaran tambahan kaligrafi tulisan Shijiki Kuno. Aku menggeser pintu tempat tidur, kamar masih berantakan, sensei memang tidak pernah mengecek kamar kami kecuali siang.

Aku menarik selimut di samping Kerlin, gadis itu juga sudah tidur dengan beberapa helai rambutnya jatuh menutupi sedikit wajahnya. Entah kenapa ia terlihat manis, dan sekaligus terlihat mirip dengan sensei. Aku teringat buku silsilah tadi, wajar jika mirip sepertinya.

Baru sekian detik memejamkan mata, langkah pelan terdengar dari luar kamar, sebuah siluet tercetap sedang berjalan di dining kertas, sosoknya yang gelap memiliki mata yang bersinar biru gelap. Perlahan tangan itu menggeser pintu Shoji.

Ia memakai kimono hitam, dan menenteng pedang yang lebih gelap dari malam. Seluruh karakteristik sempurna milik sensei, tapi sebagaian dari wajah itu, bagian yang diterangi cahaya biru. Bersisik biru prismarine, sama seperti Drake.

Itu sensei?

Bersambung....

*saya membuka kolom saran, bila ada cerpen atau ada saran lanjutan cerita diatas bisa di tulis di kolom komentar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun