Terminal Rasa.
Sebuah tempat makan yang berada di masa jayanya. Rumah makan bertemakan gazebo di tengah kolam dangkal berisi ikan koi. Rumah makan ini dikelilingi oleh pepohonan dan semak-semaka yang memberikan pemandangan hijau di setiap pinggiran gazebo. Juga ada sebuah pacuran air di tengah kolamnya yang besar.
Di kolam lain, ada sebuah gazebo yang melakukan live cooking yang sangat menakjubkan, mampu membuat semua orang pun terpaku menatapnya dan memberi tepuk tangan yang riuh.
Siapapun yang makanannya dimasak oleh koki yang berada ditengah akan merasa tersanjung saat koki masak itu mengantarkan makanan mereka, karena tak semua orang, pesanannya di masak oleh koki yang berada ditengah.
Tapi sejak 24 November 2017. Sebuah tragedi beruntun terjadi. Di tanggal itu, seorang pelanggan tiba-tiba berdiri sambil berteriak dengan tangan yang memegang leher, hidung dan mulutnya bersimbah darah. Pelanggan itu menceburkan dirinya kedalam kolam, kolam itu pun berwarna merah darah.
Hasil otopsi menyatakakan kalau korban meninggal karena racun baru yang belum teridentifikasikan. 4 hari Terminal Rasa ditutup, kasus itu di tutup dengan hasil bahwa ini adalah pembunuhan berencana dari orang luar yang tak diketahui, pelaku dibiarkan.
 3 hari kemudian, tanggal 23 november 2017. Seekor ikan baru di masukkan kedalam kolam, ukurannya sangat besar untuk ukuran ikan nila. Sejak saat itu pemilik mengeluarkan larangan untuk memancing ikan itu.
Saat RM Terminal Rasa akan tutup, penjaga gerbang melihat sosok gelap yang bersembunyi di sudut salah satu gazebo. Tapi karena penjaga itu gemetaran, dia meninggalkannya.
Malam itu, saat awan menutupi langit hingga sepenuhnya gelap. Sekelompok pemuda berdiri dari balik gazebo koki yang berada di tengah kolam, kelompok itu menyalakan senter dan turun kekolam untuk menangkap ikan besar.
Esoknya, saat penjaga gerbang mulai membuka gerbang. Bau menyegat menyeruak ganas, menusuk hidungnya hingga hampir muntah. Beberapa warga sekitar berkumpul setelah mencium bau yang sama. Setelah gerbang dibuka, bau itu semakin kuat. Warga pun tak berani masuk, beberapa orang pun mulai muntah-muntah. Salah satu warga menelepon polisi dan melaporkannya.
Sekitar 45 menit kemudian, 2 unit mobil polisi sudah berada di sana. Menggunakan masker oksigen lalu masuk kedalam RM itu, setelah hampir selama 15 menit menunggu di jarak yang cukup jauh, beberapa foto mulai bermunculan di laptop polisi yang menunggu. Foto-foto yang cukup mengenaskan, 5 tubuh manusia berlumuran darah dengan bagian tubuh yang tak lengkap, mengapung di atas air.
Seminggu berlalu, mayat telah di angkat, bau bangkai mulai menghilang dengan sendirinya. Tapi polisi memutuskan untuk menutup tempat ini, karena dikhawatirkan jatuh korban lagi. Pemilik RM menolaknya, bahkan menghalau polisi masuk, segala negosiasi yang di lakukan sia-sia.
Pemilik tetap bersikeras untuk tetap mengoperasikan Terminal Rasa, karena hanya tempat ini yang bisa menjadi tempatnya mencari nafkah. Pemilik juga berjanji bahwa pelaku pembunuhan yang tejadi bukan dari orangnya.
Polisi akhirnya membiarkan Terminal Rasa tetap beroperasi, dengan syarat pemilik bisa menjamin tak ada korban lagi. Pemilik mengangguk dengan senyum.
Tapi senang hanya tersisa kenangan, selama penuh satu bulan tak ada pengunjung satupun. Bahkan orang di sekitar sana tidak melirik sama sekali, bahkan jelas-jelas saling bisik, bergosip dan bergunjing. Pemilik nya yang melihat langsung perbuatan itu merasa tertekan, lama kelamaan perasan itu membuatnya depresi berat.
Dan tepat di malam Senin, malam pertama di bukanya RM Terminal Rasa 7 tahun lalu. Dia berdiri di bawah salah satu rangka atap di gazebo paling besar dengan sebuah kursi, setelah mengikat dengan erat di rangka, pemilik itu mengikat pula tali itu di lehernya. Dia menyingkirkan kursi di bawahnya, danajal pun menjemputnya.
Besok, semua orang berkumpuk di depan rumah makan itu. Di sekitar ambulans, salah satu tandu yang di tutupi kain putih berjalan dari dalam ke dalam ambulans. Di tandu itu tertulis sebuah nama "Zubar" begitulah yang tertulis. Seluruh keluarga almarhum menangis histeris, mengiringi mayat hingga ke rumah duka.
5 bulan kemudian.
Terminal Rasa di biarkan tak bertuan. Surat kepemilikan di bakar keluarga. Bangunan itu pun menjadi terbengkalai, lumut tumbuh tak terkendali, pepohonan sekarang memiliki daun dan dahan yang dirawat oleh alam tumbuh dengan besar, tapi justru terlihat angker.
Terutama pohon beringin paling besar yang berada di pojok tanah yang dibatasi pagar kawat besi. Daun dan akarnya menjuntai dari atas dahan, bahkan menyebar hingga tanah kosong yang berada di luar pagar. Beberapa kali warga sekitar mendengar suara jeritan pilu, jeritan itu bersahut-sahutan, berkali-kali di tengah malam.
 Saat sebuah malam berangin dan sedang badai, semuanya menjadi terlihat lebih horror. Saat salah satu pemancing yang pulang setelah memancing di irigasi di depan Terminal Rasa, petir terlihat berkali-kali dilangit. Karena teringat cerita yang sedang sering menyebar di kalangan pemancing tentang RM Terminal Rasa, dia pun memberanikan diri untuk menoleh.
 Bersamaan dengan petir yang membuat sekitar menjadi terang, dalam waktu yang hanya sekian detik itu, pemancing itu mlihat dengan jelas sesosok hitam yang bergantung di salah satu gazebo. Dia mengerem motornya, berusaha untuk memerhatikan lebih jelas sosok hitam itu.
Petir selanjutnya, menampilkan hal lain yang lebih mengerikan. Sosok-sosok yang mengapung di atas kolam dengan bagian tubuh yang tak lengkap, di dekatnya pun ada sosok yang hitam dengan sisik di tubuhnya yang mengkilap. Pun ada juga duri-duri yang terkembang di punggung. Di tangan sosok itu yang mendekat pada mulutnya memegang sesuatu, seperti sedang makan. Saat sosok itu menjauhkan tangannya, terlihat apa yang sedang dia makan. Tengkorak berlumur darah.
Sosok itu mengeluarkan suara mengecap sambil menjilati bibirnya yang masih tersisa darah. Sosok itu menoleh tiba-tiba kepada pemancing yang memehatikannya, memperlihatkan matanya yang berwarna merah menyala. Sosok itu berdiri, dia berlari kearah pemancing itu. Si pemancing bisa saja pergi, tapi tubuhnya bagai di semen tebal. Hanya giginya yang gemeretak ke takutan. Sosok bersisik itu sudah berada tepat di depannya, tingginya lebih dari 2 meter. Sosok itu mengluarkan suara mengecap, dan dalam waktu sekian detik, cakarnya sudah terhujam kedalam perut pemancing hingga tembus di punggungnya. Pemancing itu sudah mati, tubuhnya terkulai hingga jatuh ke tanah.
Besoknya, tubuh pemancing malang itu di temukan bersimbah darah dengan perut yang menganga lebar. Segala isi perut terbuncah ke tanah, warga tak berani menyentuhnya, dan menyerahkan masalahnya pada pihak berwajib. Tujuh hari berselang, hasil keluar. Bahwa kasus ini tak memenuhi segala golongan, bila kasus penyerangan maka seharusnya terlihat sayatan kasar di tubuh korban. Bila pembunuhan, maka senjata apa yang digunakan pelaku hingga bisa membuat sebuah luka yang sangat besar di tubuhnya. Bila menggunakan peledak, maka seharusnya terlihat bekas ledakan di sekitar tubuh, bilapun di hapus atau di kubur maka akan ada saksi dari warga sekitar yang mendengar ledakan itu, karena tak mungkin ada ledakan yang menghasilkan lubang sebesar itu jika tak mengeluarkan suara.
Malam ke-8.
Saat itu serobongan pemuda yang sedang membuat rekaman mengenai kisah-kisah horor yang terjadi Terminal Rasa, di menit-menit pertama video yang di unggah keesokan harinya. Hanya menampilkan perjalanan kelompok permuda menuju Terminal Rasa menggunakan motor, malam itu gelap dan dingin, angin sesekali berembus pelan.
Memasuki menit ke-7, gerbang Terminal Rasa mulai tertangkap oleh cahaya senter mereka. Tidak hanya gerbang, kaki sosok bersisik agak kehijauan pun terlihat, kedua tangannya terkepal di samping tubuh, hanya bagian pinggang ke atas yang masih terselubung gelap. Mata sosok itu berwarna merah menyala, menatap tajam kearah mereka. Lalu terdengar suara lirih dari sosok itu, suara yang sangat lirih hingga hampir tak terdengar, tapi terdengar menakutkan. "jangan mendekat" ujarnya singkat.
Plash. Plash. Plash.
Tepat setelah kalimat itu keluar dari mulut sosok bersisik hijau. Suara yang berturut-turut muncul di permukaan air, saat pemuda-pemuda itu mengarahkan senter dan kamera kearah irigasi yang berada di depan Terminal Rasa. Ikan-ikan berlompatan dari atas air, cepat dan dalam waktu yang bersamaan. Setelah beberapa saat, ikan-ikan itu kembali turun ke dalam air. Kamera kembali mengarah ke tempat sosok itu sebelumnya, sosok bersisik kehijauan itu sudah menghilang. Setelah derdiskusi pemuda-pemuda yang pantang takut itu akhirnya kembali berjalan dan masuk ke dalam RM itu.
Memasuki menit ke-34, seluruh tempat Terminal Rasa sudah ditelusuri, setiap kamar, setiap gazebo dan setiap bagian mereka telusuri. Penelusuran itu pun di selingi dengan beberapa kejadian horor, seperti TV lama yang menyala dan memperlihatkan wajah gelap dengan senyum yang menakut, bermata merah dan memperlihat gigi putih di antara bibirnya. "cepat pergi" begitulah kata sosok itu di TV. Awalnya si perekam ketakutan, tapi dia merasa kalau itu pasti temannya yang iseng. Dia melihat ke balik TV untuk melepaskan stopkontak-nya. Tapi jelas sekali dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, benda itu sudah terlepas jauh. Ketakutan itu semakain menjadi. Dia kabur keluar rumah sambil berteriak ketakutan, sosok di TV itu pun melirik kesamping, kearah pemuda yang kabur itu. Sesampainya di luar, teman-temannya sudah terkapar di dekat pintu gerbang. Sosok bersisik itu pun menoleh padanya dan berkata lagi "aku sudah peringatkan" dia berjalan mendekat. Pemuda itu berlari, tak mengindahkan kata-kata sosok itu. Saat dirinya sudah melewati sosok itu, kerah bajunya di tarik. Wajahnya menoleh, sosok bersisik itu sudah sangat dekat dengan dirinya, mata merahnya terlihat sangat menusuk. Sosok itu pun meletakkan telunjuknya di mulut pemuda yang tak bisa bergerak karena takut. "shuuut" kata sosok itu pelan. "jangan pernah katakan kepada siapapun. Atau" sosok itu menunjuk kepada teman-teman pemuda yang sudah terkapar dengan luka yang menakutkan. Pemuda itu mengangguk patah-patah, lalu dia belari pergi.
Besoknya, dia mengingkari janjinya kepada sosok itu. Dia mengunggah rekamannya itu di media sosial, dan tepat setelah itu. Sosok bersisik kehijauan itu sudah berdiri di sampingnya, "b.... bagaimana kau tahu" kata pemuda itu gemetaran. "kau pembohong" kata sosok itu sambil menghujamkan cakarnya yang panjang ke perut.
Ya, secara gari besar begitulah cerita horor yang baru pertama kali kudengar dari nenekku. Diriku bergetar ketakutan, tapi ada sebagian dari diriku yang terkesan bahwa beliau memiki nyali yang luarbiasa untuk menciptakan cerita horor itu. "baiklah, selamat tidur cucuku Mervin" ujar beliau sambil berjalan keluar. Aku memasukkan tubuhku ke bawah selimut, masih ingat ku saat beliau datang. Awalnya tak kukenali karena wajah beliau yang masih asing untukku, setelah beliau menjelaskan asal beliau yang dari Inggris, aku pun hampir terkejut karena memiliki keluarga dari luar negeri. Aku mempersilakan beliau masuk. Karena orangtuaku sedang keluar, kami makan malam berdua, setelah makan beliau bercerita sebelum tidur.
Besoknya aku bangun dengan sedikit pucat. Aku keluar dari kamar dan menuju dapur, menghampiri ayah yang sedang membaca Koran harian pagi. Saat aku duduk, ayah menoleh pada ku. "kenapa pucat Mervin" tanyanya. Aku menoleh padanya sambil menghela napas, "malam tadi nenek menceritakan cerita horor" jelasku. "nenek berkunjung ya" ibu ku ikut bergabung di dapur. Aku menolah lalu mengangguk "ya, nenek dari Inggris" jelasku. "kau pasti mengingau. Kita tidak punya keluarga yang tinggal di Inggris" jawab ayah tergelak.
Seketika tubuhku terasa kaku, siapa sebenarnya nenek yang mengaku berasal dari Inggris itu. Bagaimana dia tahu namaku, dia tak mungkin masuk rumah orang dengan membabi buta. Dia sudah merencanakan ini semua. Semuanya. Dia mengetahui sesuatu tentang ku. Sesuatu yang penting untuknya.
THE END.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H