Mohon tunggu...
Muhammad Hadziq Averroes
Muhammad Hadziq Averroes Mohon Tunggu... Lainnya - Santri SMPIT/Pondok Pesantren Insan Madani Banjarmasin

Tertarik menulis ketika berumur 9 tahun dan terus belajar menulis lebih baik. Pada usia 11 tahun menerbitkan sebuah novel sederhana "Play Armada".

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Warrior's Path 3.

12 Juli 2024   19:21 Diperbarui: 12 Juli 2024   19:22 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Warrior's Path 3.

Namaku Denki. Dan lebam ini masih sakit.

Aku menatap keluar jendala, kearah sinar matahari pagi diakhir akhir tahun. Aku menyibak rambut di dahi dan berjalan ke arah bingkai jendala, yang lain dan Sensei Qanae sudah berada di lapangan, mendirikan  5 bendera putih di atas penyangganya, satu untuk setiap kami, sebagai tanda keberuntungan. Terkhusus untukku, bendera putih yang dicoreng hitam karena aku sakit.

Aku menggeleng, apa yang dipikirkan tradisi itu, bendera doa. Bagi mereka yang sudah terbiasa, itu hal yang biasa, tapi aku masih belum bisa menerima semua tradisi itu. Aku pindah ke Shijiki ketika berumur sepuluh tahun, bertemu dengan Kiato sebulan kemudian, kemudian menjalani hidup sebagai brandal.

Seperti kisah Kiato, aku sekarat di kaki gunung sebelum ditemukan oleh sensei, dan dia merawatku sejak saat itu, bukankah dia sangat baik. Aku menyentuh bahu, lebam biru bercampur sedikit darah, luka yang kudapatkan ketika latih tanding dengan Kerlin kemarin, dan gadis itu memberi pukulan mematikan dengan tongkatnya.

Angin menerpa wajahku, memainkan helaian rambut tepat di depan mataku. "HEII, Denki, turunlah" Kiato tiba-tiba berteriak kearah ku dari bawah, melambaikan sebelah tangan sedang sebelah lagi memegang benderanya. Walaupun samar, aku bisa melihat luka memar di dagu kanannya, serangan dari Amara yang waktu itu terlihat bagai tusuk sate. Entah kenapa, perempuan dibawah pelatihan sensei dapat begitu menakutkan.

Karena seruan Kiato-lah, yang lain ikut menengadah kearah ku. Amara, diantara lehernya terlihat luka berdarah yang sudah mengering, satu-satunya serangan Kiato yag berhasil diantara seluruh tangkisannya. Kemudian juga Kerlin, ia melihatku setengah lega setengah cemas, sepertinya pukulan memar itu membuatnya merasa bersalah. Tapi lihatlah, ia menyembunyikan telapak kirinya di balik badan, menyembunyikan tangannya yang diperban karena retak tulang akibat salah satu seranganku.

Aku menyeringai, ia juga menerima serangan setimpal. Mataku beralih pada sosok tinggi hampir 190 cm, sensei Qanae, bola matanya yang hitam legam menjurus kepadaku, menohok batinku dengan keras. Pesan itu jelas 'TURUN!'. Aku mengangguk, balik kanan kearah tangga.

Sekali lagi, angin berhembus, sejuk dan bisa mengisi sedikit dari ruang kosong di paru-paruku. Aku turut bergabung dengan mereka, duduk setengah lingkaran menghadap Sensei, disamping Kerlin. Sensei memandang kami berdua sebelum melanjutkan kata-katanya, "melihat bagaimana semangatnya kalian kemarin selama bertanding, dan luka-luka kalian. Aku putuskan agar mengajari kalian tentang kepekaan" matanya beralih pada sepasang burung di dahan pohon beringin.

"kepekaan adalah sebuah pisau bermata dua, jika kalian menggunakannya untuk hal yang tepat, kemampuan itu bisa menjamin kemenangan seratus persen. Sedangkan jika untuk hal yang berlawanan, hal itu dapat menyakiti kalian dengan telak" wajahnya beralih kepada kami, "sama seperti kemarin, 'menuntut mata sebagai penipu', kalian akan menggunakan kepekaan dalam hal ini untuk senjata utama"

WUUNG.

Tongkat ditangan sensei melambung tinggi, berdesing pelang. Dengan mata tertutup, ia melakukan tendangan melingkar yang sederhana, dengan akurasi yang teramat akurat dan kekuatan maksimal, benda itu berubah haluan, melambung, kemudian menukik jauh. Tepat menusuk helaian akar beringin dan merapat diantara dahan-dahannya. Setengah jengkal jaraknya dari kedua burung tersebut.

Siapa yang menyangka, hewan mungil bersayap tersebut jatuh begitu saja dari dahan, bagai kehilangan jiwa, kemudian terhempas ke lapisan daun. "bayangkan, jika kalian melihat jarak jatuh tongkat tadi. Kalian akan kebingungan dalam memperkirakan posisi jatuhnya. Tapi dengan mendengar, akan tercipta bayangan dari suara di sekitar, dan posisi tongkat akan terungkap begitu nyata" ucap sensei.

"berdiri!" serunya, "ambil jarak masing dan bentuk segi empat". Kami semua berdiri, mengikuti instruksi sensei, dan aku kembali segaris dengan Kerlin. Hidungku mendengus. "tutup mata kalian dan tebak aku dimana". Kegelapan menyelimuti pandangan kami semua, dan seluruh suara angin segera terasa dikulit, gendang telinga, dan helaian rambut. Bayangan suara tersebut tercipta, di tengah kami. "bagus" puji sensei, bahkan sebelum kami menyebutkannya. "buatlah denah arena dengan pendengaran kalian, dan rasakan gerakan setiap disekitar kalian".

Bayangan suara bergerak pelan, kemudian sesuatu yang dilempar dan menghilang. 'bertukar tempat' seru batin ku, sebuah tehnk]ik sederhana untuk saling bertukar tempat dengan benda yang diberi tanda, aku panik, fokus ku buyar. "ayo, Denki. Jangan biarkan kepanikan melahapmu, tenangkan diri dan temukan mangsa. Kuharap kau tidak gagap dengan lebam di tubuhmu itu" tegur sensei, suaranya seperti tak berekor, tapi aku bisa menebaknya.

"bagus, gerakan sekecil apapun ada sebuah kesalahan bila lawanmu adalah penguasa Peka tingkat tinggi, kau akan kalah bahkan sebelum selesai menghembuskan napas" kata sensei lagi setelah kami menyebut posisi nya. "semakin baik" katanya.

Latih Peka itu berjalan hingga tengah hari hingga sensei memperbolehkan kami makan siang. Aku menggeleng, memilih duduk di gundukan batu, menghargai usahaku sendiri. Jika terus begini, mungkin Peka bisa digunakan di bagaimanapun keadaan, dan aku bisa mengelana sendiri kemanapun.

Mataku tida-tiba teralih pada sensei di tengah lapangan, ia sibuk bergurau dengan Kerlin. Mereka berdua terlihat akrab, bahkan tidak terlihat seperti baru kenal lusa kemarin. Seperti ada yang spesial. Kerlin, gadis itu bermata jingga ranum, memiliki senyuman manis ketika berbicara dengan sensei, dan gerak tingkahnya menunjukkan ke-eleganannya. Sensei menggeleng-geleng, menyudahi cerita murid di depannya, kamudian matanya menjurus kembali kepadaku. Bola mata yang hitam mengkilap indah, tapi mengandung sejuta makna, kali ini maksudnya adalah 'mendekat'

Aku beranjak, derai angin membasahi seluruh tubuh, ujung pakaian berkibar, dedaunan ikut bergesekan. Sepertinya ada hal yang akan sensei ucapkan, tentangku dan murid baru yang mengesalkan itu. Kerlin ikut memandang kearahku, membalikkan setengah badannya, menatap dengan aura tatapan yang sama dengan ku, aku menggertakkan gigi.

Sensei hanya memandang datar. "bermaafan lah"

Kalimat sensei mengagetkanku, apa maksudnya. Aku ingin protes, Kerlin lah yang lebih dulu menyerang, seranganku adalah kesalahannya karena melakukan gerakan sia-sia. "apa maksudnya sensei" tapi gadis itu yang membuka mulutnya lebih dulu, ia juga kesal.

"apa maksudnya, sudah jelas 'kan" ulang sensei Qanae, matanya menatap kami berdua bergantian. "kalian pasti saling membenci setelah tandingan kemarin, itu benar-benar terlihat.  Dalam dojo ku, kerja sama adalah hal terpenting, dan aku tidak menginginkan ada perselihan diantara murid-muridku" aku tidak mendengarkan kata-kata sensei, mataku sibuk berlawanan dengan Kerlin.

"bermaafan lah" sekali lagi kalimat itu terulang.

Set.

"aku, minta maaf" gadis itu sudah mengulurkan tangannya lebih, dengan tatapan yang lebih datar dari sebelumnya, tapi itu jelas tulus. Aku menatapnya, kemudian berganti kepada sensei, tidak ada pilihan lain, bilaku layangkan sebuah kalimat lagi, maka bola mata hitam tersebut yang akan menohokku kembali.

"aku juga" akhirnya kata itu keluar, tangan kami berjabat. Tidak tulus benar, tapi cukup untuk meyakinkan sensei. "katakan sekali lagi Denki, kau belum benar-benar tulus" tegur sensei, kejeliannya diatas rata-rata. "aku minta maaf Kerlin" ulangku, dan kali ini aku bisa melepaskan tatapan tajam itu.

WUUNG.

Sebuah tongkat melayang, tidak sempurna tapi melayang jauh dan stabil. Jatuh diantara kakiku dan Kerlin. "yeah" suara Kiato terdengar dari arah pagoda, ia di tingkat teratas, berseru-seru karena berhasil melakukan tendangan dengan tongkat. Sensei tersenyum hangat, sembari menarik cepat-cepat tanganku. Dalam sebuah gerakan cepat, sensei menarik badanku cepat meringsut ke sampingnya. "Denki, kuyakin kau bisa melakukan tehnik itu lebih baik dari Kiato, tapi sayangnya egois melahapmu lebih dulu" ia menasehati.

Tanpa kusadari, Kerlin mendengus kesal di belakang kami.

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun