"bermaafan lah" sekali lagi kalimat itu terulang.
Set.
"aku, minta maaf" gadis itu sudah mengulurkan tangannya lebih, dengan tatapan yang lebih datar dari sebelumnya, tapi itu jelas tulus. Aku menatapnya, kemudian berganti kepada sensei, tidak ada pilihan lain, bilaku layangkan sebuah kalimat lagi, maka bola mata hitam tersebut yang akan menohokku kembali.
"aku juga" akhirnya kata itu keluar, tangan kami berjabat. Tidak tulus benar, tapi cukup untuk meyakinkan sensei. "katakan sekali lagi Denki, kau belum benar-benar tulus" tegur sensei, kejeliannya diatas rata-rata. "aku minta maaf Kerlin" ulangku, dan kali ini aku bisa melepaskan tatapan tajam itu.
WUUNG.
Sebuah tongkat melayang, tidak sempurna tapi melayang jauh dan stabil. Jatuh diantara kakiku dan Kerlin. "yeah" suara Kiato terdengar dari arah pagoda, ia di tingkat teratas, berseru-seru karena berhasil melakukan tendangan dengan tongkat. Sensei tersenyum hangat, sembari menarik cepat-cepat tanganku. Dalam sebuah gerakan cepat, sensei menarik badanku cepat meringsut ke sampingnya. "Denki, kuyakin kau bisa melakukan tehnik itu lebih baik dari Kiato, tapi sayangnya egois melahapmu lebih dulu" ia menasehati.
Tanpa kusadari, Kerlin mendengus kesal di belakang kami.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H